Aku hanya bisa pulang ke rumah istri 6 bulan sekali. Itu pun tidak bisa berlama-lama, karena waktu cutiku terbatas dan jarak tempuh Meda Manado,sangat jauh dan sangat mahal.
Itulah yang melatar belakangi mengapa aku tinggal sendiri di kota yang terkenal memiliki gudang cewek-cewek cantik. Aku dikontrakkan rumah oleh perusahaan sebuah rumah yang cukup bagus dan ukurannya lumayan besar dengan 3 kamar. Sebetulnya rumah ini terlalu besar, tetapi tidak ada pilihan, karena rumah itu sudah disiapkan untuk kepala cabang. Rumah lengkap dengan furniture dan peralatan dapur membuat aku hanya cukup membawa baju saja.
Awalnya semua kuurus sendiri dari mencuci baju dengan mesin cuci, membuat minuman kopi atau the sendiri dan sarapan sendiri. Kadang-kadang kalau ada waktu membersihkan rumah. Mungkin seminggu sekali baru aku pel, dan 2 hari sekali disapu. Namun sejalan dengan pekerjaan yang makin banyak, waktu luangku makin tidak banyak untuk leha-leha di rumah. Rasanya aku memerlukan pembantu.
Dari berbagai orang yang kuanggap punya akses untuk mendapatkan pembantu aku sebar soal keinginanku mencari pembantu. Agak susah juga di Manado mencari pembantu, paling tidak lebih susah dari mencari pembantu di Medan.
Ada beberapa pembantu yang disodorkan, tetapi tidak sesuai dengan sregnya hatiku, ada yang terlalu tua, ada yang bermasalah dengan keluarganya dan macam-macam. Akhirnya ada yang menyodorkan aku pembantu lagi. Awalnya agak ragu juga menerima pembantu ini, karena dia sebenarnya tidak terlalu pantas jadi pembantu, selain terlalu muda, untuk ukuran kualitas dia juga terlalu bagus. Anak ini baru berumur antara 15 – 16 tahun dari kampung di daerah Tondano. Dia belum bekerja tetapi sudah terbiasa mengurus rumah membantu ibunya yang janda. Bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP karena tidak ada biaya jadi drop out. Dia diantar sendiri oleh ibunya dan sangat berharap agar aku mau menerimanya bekerja. Sebetulnya agak ragu juga menerima pembantu seperti ini, tetapi melihat ibunya mengiba-iba , karena dia berharap hasil anaknya bekerja bisa menopang kehidupannya yang makin sulit, akhirnya aku mau juga menerimanya.
Pembantuku yang masih muda ini bernama Dona. Pada hari-hari pertama dia kuajari bagaimana menggunakan mesin cuci, membuat masakan sederhana, menggunakan microwave dan tentunya menyalakan TV.
Sampai sebulan semua berjalan lancar dan Dona adalah anak yang rajin. Rumahku jadi terawat dan bersih. Kami hanya tinggal berdua di rumah itu. Aku pada mulanya sangat menjaga agar tidak terjadi skandal dengan pembantu. Oleh karena itu, jika dorongan birahi sedang tinggi, aku melampiaskannya di luar.
Dona mungkin kehidupannya di kampung terlalu sederhana, kalau tidak mau dikatakan miskin. Dia datang hanya dengan 2 pasang baju yang sudah agak lusuh. Aku mengetahuinya karena baju yang dia pakai hanya itu-itu saja. Tidak tega juga aku melihatnya, maka aku dengan senang hati membawanya ke departement store untuk membelikan dia baju beberapa pasang, terutama baju untuk bekerja di rumah dan 2 stel untuk baju jika dia ingin jalan keluar.
Setelah 3 bulan Dona makin kelihatan bersih dan terawat. Mungkin juga karena bajunya sekarang sudah lumayan banyak dan bagus-bagus. Dona menganggapku seperti saudaranya, makanya dia memanggilku Oom. Panggilan itu memang lumrah di Sulut.
Mungkin ada pengaruhnya juga antara panggilan Oom, tuan dan Pak, Kalau panggilan tuan , terasa sekali lebar kesenjangan antara majikan dan bawahan, panggilan pak juga masih terasa jarak antara atasan dengan pesuruh, tetapi kalau panggilan Oom rasanya ya seperti dengan keponakan. Nyatanya memang Dona meski dia bekerja seperti pembantu, tetapi jarak antara aku dengan dia tidak terlalu jauh. Mungkin juga kebiasaan pergaulan suku Minahasa yang demokratis membuat batasan antara majikan dengan pekerja tidak terlalu jauh. Jadi Sikap Dona makin lama memang makin akrab. Orang melihat hubungan kami seperti hubungan Oom dengan keponakannya. Akupun lama-lama merasa begitu.
Kami jadi makin lama makin akrab. Misalnya kalau menonton TV dia tanpa segan-segan duduk disampingku melipat kaki dan memeluk bantal kursi. Malah kalau chanelnya aku pindah ke siaran berita dia protes. Ada pembawaan manja yang kadang-kadang tidak kuat juga aku menghadapinya. Rasanya ingin sekali aku peluk lalu aku ciumi
Hidup berdua dengan Dona makin lama bukan makin ringan, tetapi makin berat. Sebabnya, Dona makin terlihat cantik. Dia sudah seperti gadis kota dengan dandanannya. Meski begitu dia tidak pernah lalai melakukan tugas rutinnya mengurus rumahku. Entah karena hanya bedua saja di rumah ini, lama-lama Dona terlihat makin cantik saja. Tetapi hatiku selalu mengingatkan bahwa dia adalah pembantuku.
Kadang-kadang aku suka tergoda juga karena Dona lama-lama makin manja. Dia benar-benar bagai keponakanku. Jika ada apa-apa yang dibutuhkan dia tidak segan-segan memintaku. Aku pun selalu menurutinya, karena Dona sangat jujur soal uang. Aku akhirnya memang memberinya gaji agak diatas rata-rata gaji pembantu di Manado. Setiap bulan seluruh gajinya diambil oleh ibunya yang rutin datang kerumah. Oleh karena itu aku sering memberinya tips kalau dia berbelanja. Mungkin uang tip itu yang dikumpulkan untuk membeli kebutuhan pribadinya. Aku memang tidak lagi membelikannya baju dan perlengkapan pribadinya lagi. Tetapi kuperhatikan dia makin banyak memiliki koleksi baju-bajunya. Badannya pun sekarang terasa aroma wangi body lotion.
Berat juga rasanya hidup berdua dengan Dona, yang sekarang sudah berubah wujud menjadi gadis belia yang cantik. Sejujurnya aku ingin memberhentikan dia, agar tidak sampai aku silaf dan membuat skandal dengan dia. Namun aku tidak punya alasan untuk memecatnya. Kerjanya bagus, jujur dan rajin serta sering punya inisiatif. Apalagi kalau mengingat orang tuanya yang dulu mengiba-iba agar anaknya diterima bekerja. Disampng itu jika dia ku berhentikan, bagaimana nasib kehidupannya selanjutnya. Bisa saja keluarga mereka terpuruk lagi.
Aku sudah tidak ada jarak lagi dengan Dona. Makan kami semeja dan nonton TV di ruang tengah juga duduk di sofa yang sama. Di kamarku memang juga ada TV, tetapi mengurung diri di kamar rasanya sumpek juga. Meskipun jika nonton TV di ruang tengah aku terpaksa harus mengikuti saluran acara sinteron yang kurang aku senangi.
Setelah 6 bulan Dona bekerja di rumahku dia sekarang ada kemajuan. Jika aku pulang selain dibuatkan kopi atau teh, kaus kakiku dibantu dibukai. Kalau aku duduk di sofa pundakku sering dipijat-pijat. Diperlakukan begini mana mungkin aku menolak, ya kunikmati saja. Tapi sejauh ini aku sangat menjaga diri agar tidak bersikap kurang ajar atau mengarahkan pembicaraan yang vulgar-vulgar.
Aku sering kali menegang (maksudku yang dibawah ini) karena Dona sering kali pula dengan bebasnya keluar kamar mandi dengan berbalut handuk saja. Dia sudah kutegor agar membawa baju ganti ke kamar mandi, sehingga tidak perlu berkemben handuk keluar dari kamar mandi. Dia selalu beralasan sering lupa. Melihat tubuhnya yang berbalut handuk, membuat air liurku hampir meleleh keluar. Pahanya putih dan belahan susunya kelihatan sedikit.
Selain itu dia sering tidak mengenakan BH dan mengenakan kaus dirumah yang berwarna muda atau putih. Pentil teteknya jadi terlihat mencuat dibalik kaus itu. Jika kutegur, dia selalu beralasan, panas dan kurang bebas bergerak jika pakai BH. Dia merasa tidak perlu malu dengan aku, karena aku dianggap sebagai Oomnya. Seharusnya dia kutegor dengan kata-kata bahwa aku bisa terangsang dan silaf menerkamnya jika dia berpenampilan begitu. Tapi aku tidak sampai hati ngomong begitu. Karena sebenarnya aku pun suka menikmati guncangan susunya yang tidak pakai bh itu.
Celana pendeknya juga rasaku kok makin pendek saja, sehingga pahanya yang putih mulus jadi makin terkespos. Dia pun menyenangi kaus yang kurang bahan sehingga perutnya dan pusernya terlihat.
Makin lama cobaan di rumah ku sendiri makin berat. Kelihatannya gadis-gadis ABG di kota ini memang suka begitu. Jadi mungkin saja Dona terbawa model-model abg di sini. Itu pikiran positifku untuk menghalau dugaan negatif yang berpikir bahwa Dona sengaja memancing kelaki-lakianku.
Dari sekedar memijat pundakku, beberapa kali aku juga minta diinjak-injak punggungku. Badannya tidak terlalu berat sekitar 43 kg, jadi rasanya pas untuk menekan pungungku yang pegal karena terlalu banyak duduk.
Berapa lama aku bisa bertahan. Sekarang sudah 6 bulan kami hidup hanya berdua saja di rumah ini. Aku tidak berani memulai, mengingat besarnya risiko yang harus kutanggung. Aku membayangkan kalau aku sampai menggauli Dona, kalau dia tidak terima, dan melaporkan ke polisi, atau ke orang tuanya, habislah aku. Bukan hanya masuk penjara, tetapi aku akan kehilangan pekerjaan. Seandainya pun kami melakukan suka sama suka, berapa lama aib itu bisa aku simpan sampai akhirnya terbongkar. Kalau terbongkar, akibatnya juga sama saja, aku bisa dipermalukan di kantor apalagi kabar itu sampai ke keluargaku di Medan, tidak terbayangkan malunya.
Ketakutan itulah yang selama ini menghalangi nafsuku untuk menerkam Dona. Namun dibalik itu, aku juga bertanya dalam diri sendiri sampai berapa lama bisa bertahan. Sebab kehadiran Dona makin lama makin menggoda. Apalagi kalau kami di rumah berdua dan hujan petir, membuat suasananya seperti mendorong aku untuk ngeloni dia.
Suatu hari saat aku pulang kerja kudapati rumah sepi, tidak ada suara TV, tidak ada suara apa-apa. Dona juga tidak terlihat. Kupanggil-panggil namanya. Dia menyahut dengan suara seperti orang sakit. Aku menghampiri ke kamarnya. Kamar Dona bersebelahan dengan kamarku. Dona di kamar sedang merintih-rintih memegangi perutnya. Dia merasa maagnya perih sekali. Menurut dia, sudah sempat muntah dua kali ke kamar mandi.
Aku punya pengalaman seperti dia dulu. Sekarang sudah tidak pernah kambuh lagi. Aku lalu bergegas ke dapur membuat air panas dan kumasukkan ke dalam botol. Aku juga membawa obat gosok. Botol panas jika digosokkan ke perut, agak mengurangi rasa sakit, meski tidak mengobati, dan juga obat gosok yang hangat ikut membantu mengurangi rasa sakit.
Tanpa ragu aku menggosokkan botol hangat ke perutnya dengan mengangkat baju kausnya. Mulanya aku mengangkat sebatas sampai tidak terlihat teteknya. Dona pasrah dan botol panasku agak mengurangi rasa sakitnya. Namun aku tahu bahwa rasa sakit maag itu terasa berpusat di bagian ulu hati, jika botol hangat di ditempelkan di bagian itu akan sangat mengurangi rasa sakit. Namun bagian itu masih tertutup kaus yang tergulung ke atas. Aku mencoba menyusupkan botol ke bagian itu, tetapi karena kausnya terlalu ketat, maka agak sulit. Dona mengetahui maksudku, sehingga dia membantu menyingsingkan kausnya lebih tinggi. Akibatnya menyembullah tetek yang ranum, menggembung dengan pentil mencuat kecil. Aku terkesiap melihat pemandangan itu, tetapi mencoba bersikap biasa saja. Botol panas kutempelkan ke bagian ulu hati. Cukup lama aku menempatkan botol itu di bagian ulu hatinya, sampai rasa hangatnya hilang. Dona agak terobati juga karena rasa sakitnya jauh berkurang. Aku lalu menggosok bagian perutnya dengan minyak gosok yang hangat. Dona kelihatannya tidak peduli buah dadanya terlihat olehku. Mungkin karena rasa sakitnya yang demikian hebat, sehingga terlena atau memang dia tidak perlu merasa malu terhadapku. Entahlah yang mana yang benar. Tetapi hari ini aku puas memandang kedua teteknya yang mengkal dan kenyal.
Aku menyarankan agar seluruh badannya sampai ke bagian belakang dilaburi oleh minyak gosok, biar terasa hangat dan mengurangi rasa sakit. Dona menyetujui. Untuk melaburi aku sarankan dia membuka kausnya. Dona bangkit dari rebahnya lalu membuka langsung kausnya. Sambil dia duduk aku melaburi minyak gosok ke seluruh badannya, kecuali kedua putting susunya. Bongkahan susunya sempat juga aku senggol dan memang terasa sangat kenyal.
Setelah dia mengenakan kausnya dia merasa masih ada rasa perih sedikit di lambung. Dari pengalamanku, aku tahu bagian mana yang diterapi untuk mengurangi rasa sakitnya. Aku mengambil salah satu tangannya dan kutekan-tekan antara jari telunjuk dengan jempol. Dengan tekanan ringan saja, Dona sudah menjerit kesakitan. “ Sakit sekali oom,” katanya.
“ Tahanlah sedikit, lebih baik kamu merasa sakit di tangan, dari pada sakit di perut,” kataku.
Dona meringis-meringis kesakitan dan dia berusaha menahan rasa pedih akibat bagian telapak tangannya aku tekan-tekan. Aku melakukan bergantian terhadap tangan kiri dan kanan. “ Kalau mau bersendawa jangan ditahan bahkan kalau terasa mau kentut, lepas saja jangan malu-malu. Sekitar 10 menit aku tekan-tekan tangannya, dia merasa rasa sakit di ulu hatinya jauh berkurang. Dona bersendawa berkali-kali mengeluarkan gas yang terjebak di dalam lambungnya. “ Oom maaf ya saya mau kentut,” kata Dona lalu memiringkan duduknya dan terdengar suara kentutnya yang cukup jelas.
Dia sempat 2 kali buang angin lewat bawah. Setelah itu dia merasa rasa sakit di ulu hatinya sudah reda sama sekali. Aku membaringkan Dona dan kututup selimut bagian perutnya.
Malam itu aku menyiapkan makanan sendiri, lalu menyaksikan tayangan televisi sendiri.
Sedang asyik-asyiknya nonton, Dona keluar dari kamarnya lalu duduk disebelahku sambil mengenakan sarung. Tidak lama kemudian dia minta izin untuk berbaring di sofa berbantal di pangkuanku. Dia minta perutnya digosok-gosok, katanya jika digosok-gosok rasanya nyaman dan meredakan rasa sakit.
Mulanya aku menggosok dari luar kausnya, tetapi lama-lama Dona minta tanganku masuk ke dalam kausnya. Kuturuti kemauannya, kugosok perutnya. Terasa kulitnya tidak berminyak tetapi sudah licin karena rasanya dia membedaki seluruh bagian perutnya. Tangan Dona menumpang diatas tanganku yang menggosok perutnya sampai ke ulu hati, Mungkin maksudnya mengarahkan tanganku menggosok bagian mana yang harus digosok untuk mengurangi rasa sakit. Mulanya sih memang dia memandu gerakan di bagian kiri dan kanan, tetapi lama-lama dia mengarahkan agar aku menggosok pula payudaranya. Kuturuti saja kemauannya karena aku pun merasa syur. Nafas Dona mulai makin cepat lalu beberapa saat mendesis, terutama ketika telapak tanganku menyentuh puting susunya. Aku tetap melemaskan taganku menuruti kemauan tangannya mengarah kemana saja. Namun lama-lama tangannya mengarahkan gerakan gosokan tanganku ke bagian susunya saja baik yang sebelah kanan, maupun sebelah kiri. Lalu dia kelihatannya mendorong telapak tanganku meremas susunya. Tentu saja aku suka dengan arahannya. Dona lalu merintih dan mendesis , “ Ssssshhhhhh ooom ssssssh”
Akupun jadi terangsang pula dan tanpa arahan tangannya aku meremas lembut susunya kiri dan kanan bergantian . Bukan itu saja pentilnya sesekali aku pelintir juga. Begitulah terapi nikmat itu akhirnya memang berakhir sekitar satu jam. Kutarik kebawah kausnya yang tergulung keatas, lalu kubelai-belai rambutnya. Celakanya kepalanya yang berbantal pahaku menjepit batang penisku yang menegang. Mestinya dia merasa, tapi Dona sepertinya tidak acuh.
Jam sudah menunjukkan 11 malam dan aku mengatakan ke Dona waktunya tidur. “ Oom Dona takut tidur sendiri, takut malam-malam kambuh lagi sakitnya,” katanya.
“Jadi bagaimana,” tanyaku.
“ Aku tidur deng oom, jadi kalau nanti sakit oom bisa langsung tolong toh,” katanya.
Ini bahaya membawa nikmat, batinku.
Kemauannya aku turuti, karena aku pun sesungguhnya memang sama sekali tidak keberatan alias ingin juga. Tempat tidurku tidak terlalu besar, hanya berukuran lebar 120 cm. Jika untuk sendiri memang lega sekali, tetapi kalau ditempati berdua meski cukup tapi jadi berhimpitan. Kamarku ada AC, sehingga harus tidur berselimut.
Mulanya aku dan Dona tidur berdua berhimpitan dalam posisi sama-sama telentang dengan bantal masing-masing, walau masuk dalam satu selimut. Aku agak sulit tidur, karena dalam otakku berkecamuk berbagai pikiran antara yang positif dan negatif terus-terusan bertempur. Belum lama berbaring Dona mengubah posisinya miring memelukku dan kepalanya berbantal ke dadaku. Karena posisinya di kananku, maka kaki kanannya menindih batang penisku yang mengeras.
Mula-mula aku mengelus punggungnya, tetapi lama-lama meraba teteknya dari samping dan meremas-remas dan berlanjut tanganku masuk ke dalam kausnya. Dona terasa nafasnya mendengus-dengus dan kepalanya dia naikkan sehingga berada disamping pipiku. Dona menciumi pipiku dan telingaku jelas sekali terdengar dengusan nafasnya yang makin keras. Aku mengenali sekali bahwa dengusan seperti ini menandakan perempuan dalam keadaan terangsa birahinya. Kumiringkan kepalaku lalu kukecup bibirnya dan aku kulum bibirnya. Mendapat perlakuan itu, Dona seperti bersemangat menyambut ciumanku, dia menyedot-nyedot mulutku.
Sambil mengulum tanganku mulai meremas susunya. Padat sekali dan kenyal susu perawan. Dona makin kelihatan bergairah. Aku tidak membuka kausnya tetapi tanganku terus meremas dan memelintir pentilnya yang masih kecil dan keras.
Sebagai laki-laki normal tentu saja aku tidak puas hanya mendapat remasan tetek, tanganku mulai meluncur ke bawah. Dona malam itu mengenakan piyama celana panjang. Tanganku menelusup di bawah piyama dan langsung masuk ke dalam celana dalamnya. Tanganku merasakan gudukan empuk di selaangkangannya. Terasa bulu-bulu halus yang masih jarang. Aku memainkan jari tengahku diantara lipatan memeknya yang basah oleh lendir. Dona bergerak-gerak ketika itilnya kumainkan. Aku terus memainkan itilnya sampai akhirnya dia orgasme. Aku pelan-pelan meloloskan celana dan CDnya kebawah. Dona pasrah saja. Aku lalu menciumi perutnya lalu pelan-pelan menelusur ke bawah. Pandangan yang sangat menggairahkan gundukan memek yang munjung dihiasi bulu halus yangbaru tumbuh. Aku menjilati belahan memeknya yang masih rapat dan pelan-pelan ujung lidahnya menerobos masuk ke lipatan memeknya sampai menemukan tonjolan keras. Clitorisnya aku jilati terus sampai Dona akhirnya mencapai orgasme lagi.
Sebetulnya aku ingin menancapkan senjataku ke memeknya, tetapi kesadaranku mencegah. Sementara itu batangku sudah sangat mengeras dan butuh pelayanan untuk menormalkan kembali. Kuraih tangan Dona lalu kuarahkan ke selangkanganku. Mulanya dia kuminta meremas-remas dari balik celanaku. Dona mengikuti saja kemauanku. Namun rasanya kurang memuaskan sehingga aku pelorotkan celanaku dan tangan Dona langsung meremas penisku yang sudah menegang sempurna. Dia kuminta melakukan gerakan mengocok. Sebentar saja dia mengocok aku sudah merasa akan segera ejakulasi. Kusingkirkan tangannya lalu kubekap penisku yang memuntahkan lahar panas yang putih.
Malam itu kami tidur dengan bagian bawah telanjang. Sampai pagi tidak terjadi insiden. Namun setelah malam itu, Dona jadi ketagihan tidur sekasur denganku. Jadinya hampir setiap malam kami melakukan oral sex. Dona kuajari bagaimana mengoralku. Meskipun dia mulanya tidak mau tetapi dalam keadaan terangsang mudah mematahkan pertahanannya.
Dona punya kebiasaan baru. Jika kami di rumah berdua, dia sering hanya mengenakan celana dalam saja dan kaus tanpa BH. Untungnya aku sangat jarang kedatangan tamu, sehingga perilaku Dona tidak menjadi masalah.
Dona jadi semakin manja terhadapku. Aku diperlakukan sebagai kekasihnya. Jika kami berdua nonton TV dia pasti minta aku pangku. Pada posisi seperti itu, kami jadi tidak lagi memperhatikan tayangan TV tetapi sibuk dengan saling meraba dan mencium.
Suatu kali pada malam suasana sepi karena hujan deras. Aku terpaku menyaksikan film action di TV, Dona muncul dengan baju kaus yang seperti rok. Seperti biasa dia minta dipangku. Mulanya aku tidak sadar jika Dona ternyata tidak mengenakan celana dalam. Baru kuketahui ketika tanganku mengelus-elus selangkangannya. Tanganku merasa bersentuhan dengan gundukan daging dengan bulu-bulu halus. “Kok kakmu gak pakai celana?” tanyaku.
“Tadi pakai, tetapi basah karena terkena pipis, jadi malas ambil lagi yang baru. Sudah biar saja begini, Nanti toh kalau tidur kan tidak pakai celana juga,” jawabannya masuk diakal, sehingga aku tidak curiga ada niatan lain dari aksinya malam ini. Apalagi kemi punya kebiasaan baru, tidur selalu tanpa celana dalam.
Batang penisku diduduki Dona menjadi keras perlahan-lahan. Karena posisinya tidak tepat jadi tertindih badannya yang lumayan berat jadi sakit. Aku minta Dona mengangkat sebentar badannya. Aku lalu memelorotkan celanaku. Penisku kuarahkan lurus keatas mengikuti kontur tubuhku. Dona Pelan=pelan kuarahkan duduk dipangkuanku dengan lipatan memeknya tepat diatas batang kontolku yang tertekan pada posisi menempel ke badanku. Aku memang duduk agak rebah bersandar. Aku merasa belahan memeknya licin oleh lendir. Lalu iseng-iseng aku gerakkan badannya maju mundur, sehingga memeknya menggesek-gesek batang penisku. Rasanya kurang memuaskan karena bongkahan pantat Dona yang montok menghalangi keleluasaan bergerak. Dona kuminta mengubah posisi sehingga dia duduk di pangkuanku berhadapan. Kakinya ditekuk sehingga dia bebas melakukan gerakan maju mundur. Rasanya nikmat sekali. Namun karena itu aku jadi penasaran untuk mendapat nikmat yang lebih tinggi.
Batang penisku sudah basah oleh lendir memek Dona, apalagi memeknya yang juga sudah licin. Dona kuminta mengangkat posisi duduknya dan aku memegangi penisku lalu mengarahkan ke lubang vaginanya. Setelah tepat posisinya Dona kuminta merendahkan duduknya. TErasa sulit sekali kepala penisku membelah lubang vaginanya.Dona juga mengeluh karena dia merasa sakit. Aku tidak kehilangan akal, Aku lumuri sekujur penisku dengan ludah, lalu kami mulai mencoba lagi. Penisku bisa sedikit masuk ke lubang vagina Dona. Aku minta dia terus merendahkan badannya. Meski Dona mengernyit sebagai ekspresi sakit, tetapi dia masih mau mengikuti arahanku. Kedua tanganku memegangi kiri kanan pinggulnya. Dona berhenti merendahkan badannya karena menurut dia memeknya terasa perih. Aku tidak memaksa penisku masuk terus meski sekarang sudah masuk sekitar3 cm. Melalui arahan tanganku Dona kuarahkan bergerak naik-turun. Jalan masuk ke vaginanya makin licin dan kepala penisku bisa masuk sekitar 2 ruas jari. Dona masih menahan untuk tidak memasukkan seluruh penisku ke dalam vaginanya. Aku pun merasa ada halangan selaput perawannya yang menahan. Kami melakukan gerakan sampai jalan masuk memeknya benar-benar terasa licin. Suatu saat Dona kuminta berhenti bergerak saat penisku terhalang selaput daranya. Dengan gerakan tiba-tiba kudorong penisku dengan paksa, sehingga tembuslah penghalang itu dan penisku langsung terbenam penuh. Dona terkejut dan menjerit kesakitan. Meski begitu penisku sudah tertancap penuh di liang vaginanya. Aku melihat ada lelehan darah segar. Tidak banyak, tetapi terlihat keluar meleleh di batang penisku. Setelah rasa sakit reda aku mencoba menggerakkan penisku keluar sedikit lalu masuk lagi. Aku terus mengulang-ulang gerakan itu sampai akhirnya aku merasa akan ejakulasi. Aku tidak mampu bertahan lama karena memeknya yang sempit dan menggenggam kuat penisku membuat kenikmatan luar biasa.
Segera kucabut penisku dan kumuntahkan spermaku diluar. Aku khawatir, spermaku bisa menjadi benih yang subur di dalam rahimnya.
Selan 2 hari kemudian aku mencoba menyetubuhi Dona, Meski dia tidak merasa sesakit pada awalnya, tetapi masih ada rasa sakit sedikit. Oleh sebab itu dia tidak bisa mencapai orgasmenya. Baru hubungan ke tiga 3 hari kemudian pemasukan penisku ke vaginanya mulai lancar. Untuk pertama kalinya Dona mencapai orgasme melalalui hubungan sex yang normal.
Sejak itu kami rutin hampir setiap malam melakukan adegan sex. Namun aku tidak berani terjun bebas. Aku selalu menggunkan kondom. Pakai kondom untuk ronde pertama memang tidak masalah bagiku, tetapi kalau aku main untuk ronde kedua, seulit sekali bagiku mencapai kepuasan. Pernah aku mengayuh sampai satu jam dengan berbagai gaya, tetap saja orgasmeku tidak tercapai. Aku terpaksa melepas sarung karet itu baru bisa merangsang penisku untuk mencapai kepuasan. Repotnya aku terpaksa buru-buru mencabut menjelang pelepasan sperma.
Aku diam-diam datang ke dokter ahli menanyakan kemungkinan melakukan steril. Aku memang tidak lagi menghendaki anak, karena anakku sudah besar-besar. Aku kemudian melakukan steril.
Sejak setelah disteril, aku makin puas bermain dengan Dona.
Mungkin karena masih muda, atau karena pembawaannya, Dona ternyata memiliki nafsu sangat besar. Boleh dikatakan dia tergolong hipersex. Setiap malam dia selalu minta jatah, paginya juga ketika kami bangun pagi dia minta jatah lagi. Kalau aku pulang siang-siang dia membujukku untuk main sekali lagi. Dia pantang disenggol, kesenggol sedikit saja langsung minta jatah.
Sekitar 4 tahun aku hidup bersama Dona dengan kegiatan sex yang padat. Sebelum aku mengakhiri tugas di Manado, Dona kuperkenalkan dengan anak buahku. Mereka kelihatan cocok. Aku bahkan memberi kesempatan bagi mereka berpacaran di rumahku. Aku tahu bahwa mereka berdua pasti melakukan hubungan sex, saat aku tidak di rumah. Aku sering memergoki mereka asyik di dalam kamar. Aku tidak menegurnya, hanya aku melarang pacarnya menginap di rumah. Aku sudah menekankan kepada Dona untuk merahasiakan hubungan kami. Untungnya Dona mengerti, sehingga pacarnya tidak tahu kalau Dona juga masih melakukan hubungan denganku.
Mungkin karena kecerobohan mereka, Dona terlambat haidnya. Aku buru-buru menikahkan mereka. Mereka akhirnya membina rumah tangga, dan kabar terakhir aku mendengar mereka sudah memiliki 2 anak
0 comments:
Post a Comment