APAKAH
buah hati Anda memiliki rasa tertarik pada dunia lain? Atau apakah anak
Anda sulit menatap mata lawan bicara? Bila iya, kemungkinan dia mengidap
autisme. Segeralah bertindak.
Sepintas
anak ini terlihat sangat normal, tetapi anak autis memiliki tingkah
laku yang berbeda dari anak-anak lain. Penyebabnya tak lain karena
sistem syaraf pusat mereka berkembang tidak sempurna sehingga mereka pun
mengalami kesulitan dalam memahami bahasa, proses belajar, serta
berkomunikasi. Butuh ketekunan serta kesabaran ekstra bagi para orangtua
yang memiliki anak autis.
Direktur
Intervention Services for Autism Development Delay Disorder (ISADD)
yang berbasis di Australia, Jura Tender mengakui, betapa sulit
mendeteksi autisme sejak dini. Karena secara fisik bayi tampak
sehat-sehat saja. Seiring berjalannya waktu, orangtua hanya melihat
sedikit saja perbedaan.
Misalnya
anak tidak terlalu banyak bicara, tidak suka disentuh, dan posisi
tubuhnya sering aneh. Masalahnya, banyak orangtua yang tidak terlalu
memerhatikan sekaligus peduli akan hal itu. Mereka lantas menganggapnya
sebagai suatu hal yang wajar. ”Padahal, orangtua seharusnya cepat
bertindak dan hadapi kenyataan tersebut. Jangan sampai kondisi anak
terlanjur parah hanya karena orangtua menganggapnya enteng,” ujar Jura
mengingatkan.
Sedikitnya
ada beberapa kriteria autisme yang dapat diperhatikan. Anak autis
mengalami gangguan dalam interaksi sosial, di antaranya rendahnya
kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal, seperti
kontak mata, ekspresi muka, dan gerakgerik tubuh. Anak pun tidak mampu
berinteraksi sosial dalam kelompok selayaknya anak-anak seusianya.
Mereka
juga tidak mampu memberikan reaksi secara sosial dan emosional atas apa
yang terjadi. Misalnya tidak mampu menunjukkan simpati ketika orang
lain bersedih ataupun tidak membalas ketika dipeluk. Anak autisme pun
mengalami keterlambatan atau ketidakmampuan berbicara, bahasa yang
digunakan cenderung berulang-ulang, kaku, khas, dan agak aneh. Mereka
yang menderita autisme sering melakukan kegiatan, bertingkah laku, dan
merasa tertarik pada sesuatu yang berulangulang serta terbatas. Seperti
rasa tertarik yang cenderung abnormal dari segi fokus dan intensitas
terhadap suatu kegiatan yang terbatas. Sebut saja kebiasaan me
ngulang-ulang sebuah adegan dari film atau video secara terus-menerus
atau berjalan tanpa henti dalam bentuk lingkaran.
Atau
mungkin juga anak memiliki kebiasaan rutin yang harus diikuti dan sering
kali tidak bermakna. ”Misalnya harus melalui jalan tertentu menuju ke
sekolah atau hanya mau tidur dengan menggunakan baju tertentu,” kata
Gayatri Pamoedji selaku pendiri Masyarakat Peduli Autisme Indonesia
(MPATI) yang juga memiliki putra yang mengidap autis ini.
Sejatinya,
autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak.
Sering kali gejala tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Menurut
sebuah penelitian di Amerika, autisme terjadi kurang lebih pada 10 anak
dari 10.000 kelahiran. Kemungkinan terjadinya empat kali lebih sering
pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan.
Faktor
genetik memang disebut sebagai salah satu kemungkinan terjadinya
autisme. Namun, sampai sekarang belum ada penelitian lebih lanjut yang
menyebutkan apakah faktor genetik ini berasal dari ayah atau ibu.
Keduanya memiliki peluang yang sama. Hanya, sifat autis lebih terlihat
nyata pada saudara sekandung lelaki dari pihak ibu maupun ayah, jika
memang ada karakteristik autis pada keluarga tersebut.
Penyebab
utama dari gangguan ini hingga saat kini memang masih terus diselidiki
oleh para ahli. Kendati demikian, di samping faktor genetik,
faktor-faktor berikut disebut-sebut sebagai pemicu penyakit ini, yakni
keracunan logam berat, vaksinasi MMR (Mumps, Measles, Rubella), polusi
lingkungan, alergi terhadap makanan tertentu seperti gandum dan produk
susu, serta komplikasi sebelum dan setelah melahirkan.
Gayatri
menyarankan orangtua yang memiliki anak dengan gangguan tersebut untuk
melakukan terapi secara rutin. ”Menemukan terapi yang tepat bagi anak
memang merupakan sebuah perjalanan panjang. Orangtua perlu mengetahui
apa yang dibutuhkan dan apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya,”
ujar wanita yang mengambil Master of Health Conselling dari Curtin
University of Technology ini.
Terapi
yang tepat, lanjut Gayatri, adalah terapi yang mengikis keterbatasan
anak, melibatkan anak, sudah terbukti keabsahannya, dapat diukur
hasilnya, mempertimbangkan kelebihan maupun keterbatasan, serta
menggunakan hal-hal yang disukai oleh anak.
Terapi
yang tepat justru akan membuat kehidupan keluarga lebih tidak stres
karena anak sudah mulai mampu untuk mandiri dan berinteraksi dengan
anggota keluarga.
Yang
perlu orangtua ingat adalah, cocok atau tidaknya terapi untuk anak
ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan sang anak. Jadi, sebaiknya
orangtua mencari tahu, membuat daftar kebutuhan, serta keterbatasan dan
kelebihan sang anak.
Untuk
menjalani terapi ini, para ahli menyarankan agar anak autis diberikan
terapi selama 25–40 jam dalam seminggu. Hal ini tidak menjadi masalah,
sebab pada umumnya anak autis tidak mengalami gangguan perkembangan
fisik sehingga tetap perlu diberi stimulasi.
Lamanya
anak menjalani terapi, bisa dibilang hingga dia mampu mandiri dan
berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya. Semua ini ditentukan oleh
kemampuan anak dan orangtua. Jika anak sudah mampu menerapkan atau
mencapai target terapi tanpa harus diingatkan atau diarahkan, tidak
hanya di kelas terapi tapi juga di rumah, maka dia terbilang sudah mampu
dan kompeten.
0 comments:
Post a Comment