Monday, October 15, 2012

Tuna Grahita

Hidup ini memang tidak bisa dikalkulasi seperti matematika atau diprediksi melalui feasibility study seperti di bidang bisnis. Banyak misteri untuk mengetahui nasib kita di depan. Tulisan ini saya buka dengan pernyataan itu, karena kehidupanku di masa anak-anak dan di masa dewasa berbeda jauh seperti siang dan malam atau berbanding jauh antara bumi dan langit. Ketika aku kanak-kanak sampai hampir lulus SMP, tak pernah terbayang bisa menjadi sukses. Jadi aku tidak pernah merintis jalan menuju sukses ketika kanak-kanak, karena memang tidak tahu harus bagaimana untuk mencapai sukses. Yang aku lakukan adalah berusaha sebaik mungkin mengerjakan yang aku hadapi.
Aku sekarang memiliki banyak perusahaan yang total omzetnya setahun ratusan miliar rupiah. Soal duit aku tergolong yang berlebih pada masa ini. Padahal ketika aku masih kecil, hidupku sangat sederhana di kampung. Rumah berlantai semen, dinding separuh tembok separuh anyaman bambu. Makan dengan lauk seadanya, krupuk dan sambal merupakan menu yang paling sering. Mi instan termasuk lauk yang cukup mewah, apalagi jika dicampur telor.
Aku memang berasal dari keluarga miskin, di satu pedesaan di Jawa Timur. Pada waktu itu untuk memiliki sepeda sendiri saja tidak terbayangkan bisa dapat dari mana. Namun sekarang kehidupan itu sudah berubah total.
Ceritanya diawali begini.
Mungkin bisa dianggap suatu kebetulan, atau mungkin bisa juga dianggap rezeki. Waktu itu aku menjelang menyelesaikan sekolah di kelas 3 SMP. Orang tuaku tidak bisa menemukan jalan keluar agar aku bisa melanjutkan ke SMA. Sebab SMA letaknya agak jauh dari desaku. Jika naik angkutan bayarnya bisa 2 ribu, kalau naik sepeda perlu waktu sejam. Jadi SMA itu pokoknya jauh lah dari rumahku.
Aku memang sangat ingin melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, tapi aku bisa memahami kesulitan ekonomi orang tuaku. Jadinya waktu itu aku pasrah saja, mau bisa terus sekolah atau tidak , itu urusan nantilah, yang penting posisiku terus di rangking 1 sejak kelas 1 SD bisa aku pertahankan.
Ceritanya ditengah kebingungan orang tua kami, ada tamu datang kerumah . Dia adalah Pak Noto. Bapakku akrab dengan Pak Noto karena mereka dulu cukup lama sekelas di sekolah Desa. Pak Noto memang berasal dari desaku ini. Kedua orang tuanya dimakamkan di desa ini. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Pak Noto tidak punya kerabat lagi di desa ini.
Jadi jika dia ziarah ke makam orang tuanya dia selalu mampir ke rumah kami untuk sekedar istirahat. Pak Noto tinggal di Jakarta, dan kehidupannya sekarang sudah sangat berlimpah. Itu kata Bapakku.
Setiap kali singgah ke rumah kami Pak Noto selalu memberi “salam tempel” ke bapakku. Jumlahnya lumayan banyak untuk ukuran di desa kami. Mungkin karena itu, kami selalu menyambut gembira jika Pak Noto datang.
Seperti biasa pada kedatangan kali ini Pak Noto dalam obrolan basa-basi menanyakan keadaan keluarga kami. Kesempatan ini dengan tangkas ditangkap Bapak dengan mengatakan kesulitan untuk menyekolahkan aku ke tingkat yang lebih tinggi.
Mungkin waktu itu Pak Noto menawarkan membantu aku menyekolahkan di Jakarta. Ketika mereka ngobrol aku lagi nimba air di belakang, jadi tidak tahu. Aku dipanggil ibu ke ruang tamu. Pak Noto langsung menatapku dalam-dalam. Dipandang begitu aku jadi minder, untung aku punya senjata dengan bertanya “ada apa Pak, tanyaku ke Bapak.
“ Itu Pak Noto mau tanya,” kata Bapak.
“Le (sebutan untuk anak laki-laki Jawa) kamu mau sekolah SMA di Jakarta,” tanya Pak Noto.
Aku yang tidak siap menghadapi pertanyaan seperti itu, terkesiap. Sebabnya aku dan bapak serta ibu tidak pernah membicarakan masalah ini.
Tapi demi masa depanku, aku langsung berinisiatif menjawab saja,” Mau Pak”.
“Bagus, nanti kamu tinggal di rumah Bapak saja sambil bantu-bantu ,” kata Pak Noto.
Istrinya juga menimpali, “ Sayang to, kamu ini anak pinter, kalau nggak ngelanjutin sekolah.”
Aku berdebar-debar dan berkeringat akibat dialog singkat itu. Bagaimana tidak, ke Jakarta aku sama sekali belum pernah, apalagi jaraknya cukup jauh dari desaku. Wah pokoknya berbagai macam rasa khawatir keluar masuk silih berganti ke otakku.
Setelah pak Noto pulang, Bapak memanggilku . Kami berdiskusi. Kesimpulannya aku harus benar-benar menjaga diri berada di rumah dan disekolahkan Pak Noto. “ Kalau perlu kamu jadi kacung, kamu harus terima le,” kata Bapak.
Bagi ku bekerja apa pun tidak jadi masalah. Sebab di rumah aku juga punya banyak tugas, seperti membersihkan rumah, mengisi bak kamar mandi, memelihara kambing dan banyak lagi.
Tibalah waktunya aku harus berangkat ke Jakarta. Bapak membekaliku uang saku, yang menurut ukuranku jumlahnya luar biasa besar. Selain itu aku diberi catatan alamat rumah pak Noto dan sebagainya. Hebat juga si Pak Noto, dia memberi catatan bukan hanya alamat, tetapi bagaimana mencapai alamat itu dengan berbagai kendaraan dan jurusan.
Aku memang waktu itu orang udik dan membawa bekal uang yang jumlahnya cukup besar. Ini mungkin dari Pak Noto. Kalau dari bapak, gak mungkin dia bisa memberi uang segitu banyak. Saking takutnya kehilangan. Uang kusimpan menyebar, ada di kaus kakiku, ada dikantong celana pendek yang aku pakai sebagai daleman, dan beberapa aku kantongi di tempat yang sulit dijarah.
Singkat cerita aku bisa sampai ke alamat rumah Pak Noto setelah menempuh perjalanan sekitar 12 jam dari desaku. Rumahnya besar dan mewah. Berkali-kali aku cocokkan alamat dibekalku dengan no yang tertera di tembok rumah itu. Kalau keliru aku kan malu. Meski pun benar aku masih tetap malu juga, sehingga waktu itu aku mengetok pintu pagarnya pelan-pelan. Lama sekali tidak ada yang buka.
Aku kaget karena tiba-tiba ada suara dari speaker “ Ya mau ada perlu apa,” tanya orang di speaker itu.
Aku bingung, kecut dan heran , karena aku harus ngomong ke siapa. “ Dik sini mendekat ke speaker dan ngomong keperluannya apa,” kata suara itu .
Aku mencari-cari arah datang nya suara, ternyata di tembok pintu pagar yang kayaknya sumber suara itu. “ Saya Heru, dari desa…. Di suruh Pak Noto datang ke sini,” kataku dengan nada suara ragu.
“Ooo kamu heru toh,” kata suara itu .
Pintu pagar dari besi yang tinggi tiba-tiba terbuka sendiri. Setelah pintu terbuka aku semakin jelas melihat kemewahan dan besarnya rumah Pak Noto. Seorang satpam berlari-lari dari arah rumah ke arahku yang masih bengong di depan pintu.
“Sini mas,” katanya sambil berusaha menolong membawa ranselku.
Aku tentu saja menolak jasa baiknya, wong aku masih kuat bawa sendiri.
Aku disambut oleh bu Noto yang ramah, lalu ditunjukan kamarku. Kamarku di lantai atas dan luar biasa, aku terperangah, karena kamar itu mewah sekali, ada ranjang pegas, udaranya dingin karena ada AC, dan kamar mandinya di dalam pula. Kalau rumahku di desa sumurnya di belakang rumah terpisah dari rumah induk.
Aku waktu itu memang udik betul, karena ternyata kamar-kamar pembantu semuanya pakai AC, bedanya mereka tidak punya kamar mandi di dalam. Besarnya juga kurang lebih sama dengan kamarku.
Pembantu dirumah itu ada 3, termasuk seorang baby sitter.
Pak Noto mempunyai seorang anak, perempuan, usianya mungkin sekitar 8 tahun, tetapi mempunyai keterbelakangan mental.
Selama sebulan pertama aku masih kikuk, sehingga lebih banyak tinggal di kamar. Sebabnya di kamarku ada TV, jadi aku betah lah ngendon.
Setelah itu aku mulai akrab dengan para pembantu dan baby sitter. Dari situ aku mulai mengisi waktu luangku membantu mereka. Aku menyapu, ngepel, bersihkan kamar mandi, ngelap kaca, sampai cuci mobil. Pokoknya kerjaan apa saja yang ada aku kerjakan. Bu Noto berkali-kali mencegah aku melakukan pekerjaan itu. Tapi aku mengatakan bahwa aku kurang enak kalau nganggur, sebab di desa sudah terbiasa kerja. “Wah kamu selain pinter, ternyata juga sergep (rajin),” kata bu Noto.
Aku mulai mengenal Helen, begitu nama anak keluarga Noto. Beberapa kali aku mengajak bermain, saat baby sitternya makan atau ada keperluan ke belakang. Awalnya Helen tidak mau kuajak main, malah takut. Meski umurnya 8 tahun tetapi kelakuannya seperti anak 3 atau 4 tahun.
Aku baru sekali ini bertemu dengan anak dengan keterbatasan mental. Helen sebenarnya sepintas lalu seperti anak normal, tetapi jika diajak komunikasi, sering tidak direspon.
Aku kasihan juga melihat Pak Noto dan istrinya. Mereka mempunyai anak satu-satunya, tetapi menyandang cacat mental. Padahal menurutku Helen cukup cantik, ah mungkin untuk ukuran aku yang orang udik.
Setelah aku sekolah, setiap waktu luang setelah tidak ada lagi yang dikerjakan aku mencoba bermain bersama Helen. Dia akhirnya bisa akrab denganku.
Baby sitter Helen, bukan baby sitter biasa, dia mempunyai kecakapan khusus merawat anak tuna grahita. Tapi menurut pengamatanku Mbak Dini, kurang telaten merawat Helen. Aku banyak tahu mengenai anak tuna grahita dari bertanya ke mbak Dini. Dia nampaknya cukup menguasai teori-teori mengenai anak tuna grahita. Kata dia perlu belajar 6 bulan untuk memahami sifat anak tuna grahita.
Aku melihat, Mbak Dini hanya mengejar upah yang lumayan tinggi, dari pada melayani keluarga Pak Noto membantu merawat Helen.
Setelah 6 bulan aku tinggal di rumah Pak Noto, Helen lebih suka bermain denganku dibanding dengan mbak Dini. Celakanya Mbak Dini senang pula tugasnya aku ambil alih. Sebenarnya aku bukan ingin mengambil alih kerja dia, tetapi aku semata-mata iba melihat Helen tidak terlayani dengan baik. Sebab orang tuanya sudah sedemikian baik membantu aku.
Banyak tugas Mbak Dini yang jadi beralih ke aku. Tidak ada rasa keberatan dalam diriku, dan aku selalu melindungi mbak Dini dari penilaian Bu Noto.
Sejak Helen akrab bermain denganku, kata gurunya di sekolah Helen banyak mengalami kemajuan. Aku juga merasakan, komunikasi sengan Helen sekarang relatif lancar. Kata Mbak Dini, Helen menyandang tuna grahita ringan. Oleh karena itu dia lebih mudah diajari dari pada kategori yang lain.
Tapi menurut pengamatanku, Helen tetap saja mengalami keterbelakangan intelektual. Kelakuannya masih seperti anak-anak banget, meski badannya sudah besar.
Kalau aku di rumah hampir seluruh tugas Mbak Dini menjadi kerjaanku. Rupanya Bu Noto diam-diam memperhatikan keadaan anaknya. Itu sebabnya aku dicegah mengerjakan yang lain, kecuali mengurus Helen.
Aku penasaran juga, apa benar anak tidak bisa dilatih. Pendapatku waktu itu, kalau melatihnya sabar, pasti anak ini bisa menerima arahan. Aku bertekad melatih Helen sampai mendekati keadaan anak normal. Ini menurutku sebagai salah satu balas budiku kepada keluarga Pak Noto. Aku mempunyai koleksi buku mengenai anak keterbelakangan mental. Jika teman-teman sekolah mengajakku jalan ke Mall aku memilih berlama-lama di toko buku dari pada mondar-mandir nggak jelas.
Ketika aku naik ke kelas 2 SMA, juga dengan ranking terbaik, aku sudah banyak menguasai pengetahuan mengenai masalah penyandang ketunaan.
Helen juga sudah makin besar. Ketika itu Bu Noto lebih mempercayaiku merawat Helen daripada mbak Dini. Mbak Dini masih terus diminta merawat, Helen karena ada tugas-tugas yang tidak mungkin aku lakukan, seperti memandikan, menyeboki dan membantu mengenakan pakaian.
Helen sudah mulai mampu menulis dan membaca bahkan juga berhitung. Kalau komunikasi sudah lumayan lancar dan nyambung lah. Aku berusaha mati-matian mencari jalan agar Helen bisa normal seperti anak lainnya. Makanya aku merawatnya dengan sepenuh hati, sabar dan tidak bosan serta menyerah.
Jika Mbak Dini libur, karena lebaran dan sebagainya. Maka tugas Mbak Dini digantikan oleh Bu Noto. Karena sebagian besar tugas perawatan Helen berada di tanganku, maka tugas Bu Noto jadi cukup ringan.
Suatu hari yang kemudian kuingat sepanjang hidupku adalah ketika Helen ngambek nggak mau mandi, kecuali aku yang memandikan. Ibunya, Mbak Dini dan Aku tak seorang pun yang berhasil memberi pengertian bahwa hal itu tidak mungkin. Mbak Dini tidak berhasil, Bu Noto juga begitu. Bu Noto kemudian memutuskan Helen dimandikan olehku, tetapi didampingi Mbak Dini di kamar mandi.
Aku terus terang gemetar menerima tugas ini. Membayangkan memandikan Helen umur 9 tahun, sedangkan aku seumur-umur belum pernah lihat anak telanjang. Mungkin kalau bayi ya pernah lah.
Dengan berat hati dan perasaan malu serta rikuh, aku terima juga tugas itu.
Di kamar mandi, Helen hanya memperbolehkan aku yang melepasi bajunya. Setiap Mbak Dini membantu dia merajuk dan menampik tangan Mbak Dini. Mbak Dini akhirnya cuma jadi penonton. Aku terpaksa memendam rasa rikuh dan malu. Aku berusaha bersikap biasa saja, seolah-olah tidak terpengaruh ketelanjangan Helen.
Badan Helen putih mulus. Meski mentalnya terkebelakang, tetapi badannya tumbuh normal. Seingatku pada waktu itu payudara nya belum tumbuh. Kemaluannya juga belum tumbuh bulu. Helen masih seperti anak-anak lain, belum memerlukan mini set.
Aku mulai menyiram tubuhnya dengan pancuran air hangat. Celakanya, senjataku tidak bisa diajak tentram, dia mulai mengeras. Wah sialan ini. Tapi aku berusaha bersikap biasa. Setelah seluruh tubuhnya basah, berikutnya adalah menyekanya dengan sabun dengan spons mandi. Helen tetap menolak campur tangan Mbak Dini. Menurut Mbak Dini , kemaluan Helen harus dibersihkan dengan diceboki. Sekali lagi Helen tidak mau diceboki Mbak Dini, Dia pun tidak mau menceboki sendiri. Apa boleh buat akulah yang melakukan tugas ini.
Astaga kemaluan Helen ternyata lembut sekali. Barangku jadi makin keras oleh sensasi mencoboki ini. Helen dalam posisi jongkok dan aku berada di depannya menceboki dengan tangan ku.
Aku sesungguhnya berdebar-debar, tetapi ini harus kutahan dan aku harus kelihatan seperti profesional.
Tugas yang menegangkan selesai, berikutnya adalah mengeringkan badan dengan handuk dan mengenakan pakaiannya.
Entah kenapa kali ini campur tangan Mbak Dini ditolak Helen. Dia meminta aku melakukan semuanya. Ibunya yang berada di kamar Helen juga geleng kepala. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak karena ini anak kesayangannya, dan kemampuan mentalnya terbelakang. Seandainya anak normal, seusia 9 tahun pastilah sudah punya rasa malu bertelanjang di depan aku yang berusia 16 tahun.
Ketika aku berpikir kebelakang pada saat ini, betapa dewasanya aku dulu. Anak umur 16 tahun, seharusnya akan sulit melakukan tugas dengan tanggung jawab begitu besar dan berat.
Karena peristiwa memandikan Helen itu, aku dipanggil Pak Noto dan Bu Noto. Terus terang pada waktu itu aku gentar juga. Menurut pikirku, mereka berdua akan memarahiku karena melakukan tugas memandikan Helen. Habis lah aku dan aku pada waktu itu sudah menyiapkan mental untuk balik kekampung lagi.
“Begini Nak Heru, Bapak dan Ibu perhatikan Helen sangat manja dan dekat dengan kamu. Tadi saya dilapori ibu, sampai Helen minta dimandikan Nak Heru. Saya berpesan kepada Nak Heru agar menjaga Helen sebaik mungkin. Dia anak kami satu-satunya. Jagalah kehormatan keluarga kami, dan Nak Heru juga harus menjaga kehormatan keluarga nak Heru,” kata Pak Noto dengan suara penuh wibawa.
Kata-katanya diplomatis sekali, tetapi saya menangkap intinya agar aku menjaga Helen, jangan sampai , kasarnya aku garap.
Batinku jadi berkecamuk karena sebagai laki-laki normal yang sedang dalam pertumbuhan, tidak mungkin meredakan nafsu dengan mengendalikan agar barangku tidak menengang. Tetapi di balik itu ada ketakutan yang sangat besar jika aku tidak bisa melaksanakan tanggung jawab itu.
Semua kebutuhanku dipenuhi oleh keluarga Pak Noto, bahkan uang sakuku untuk kesekolah sehari-hari rasanya terlalu besar. Pernah aku menolak pemberian uang saku itu, tetapi Bu Noto memaksanya agar aku menerima saja.
Aku tidak memerlukan terlalu banyak ongkos, paling kuhabiskan sepersepuluhnya. Selebihnya aku tabung. Di sekolah aku tidak pernah membeli jajan. Teman-temanku seperti bergantian ingin menraktirku. Bukan aku menyombongkan diri, aku adalah anak ranking 1 di tingkat wilayah/kota, bukan hanya di sekolah. Selain itu penampilanku cukup gantenglah dengan tinggi badan 175, badan kekar, Cuma kulit agak gelap, sawo matang. Olah raga cukup ahli di cabang basket, futsal. Sebenarnya banyak cewek yang ingin mendekatiku. Tapi aku tanggapi dingin saja. Aku setiap kali di dekati cewek teringat tanggung jawab ku di biayai sekolah Pak Noto. Aku tidak boleh berpikir lain kecuali berhasil dalam sekolah.
Banyak teman-temen cowokku yang iri, karena banyak cewek yang mengidolakan diriku. Tapi itu kutanggapi biasa-biasa saja.
Aku sejak kelas 2 SMA rutin mengirim uang ke orang tuaku di kampung. Jumlahnya kalau di desa cukup besar, paling tidak cukup untuk biaya hidup selama sebulan bagi keluarga dengan 2 anak. Padahal itu hanya sebagian dari uang saku yang kutabung. Sebagian lagi aku simpan dalam celengan. Kelak kalau aku sudah bisa memiliki KTP akan aku simpan di bank.
Sejak kejadian pertama Helen minta aku mandikan, setiap kali jika aku dirumah Helen hanya mau aku yang memandikannya. Setiap kali memandikan Helen, pesan Pak Noto terus terngiang di telingaku. Jadinya aku tidak berani macam-macam.
Meskipun sudah terbiasa memandikan dan menceboki, bahkan menceboki waktu Helen buang air besar, barangku tetap saja ngaceng. Sial juga, barangku ini tidak punya pegertian.
Aku tidak lagi didampingi Mbak Dini, ketika melakukan tugas di kamar mandi bersama Helen. Kalau dulu aku menjadi ban serap Mbak Dini sekarang situasi terbalik.
Apa pun keperluan Helen dia selalu meminta aku yang melakukan. Aku melayani Helen dengan sepenuh hati dan tekadku Helen harus bisa menjadi gadis normal. Oleh karena itu berbagai metode pengajaran aku terapkan kepada Helen. Hasilnya lumayan dia tidak terlihat terlalu ketinggalan. Dia bahkan sudah agak mudah berkomunkasi, bisa bercanda. Sementara itu teman-temannya di sekolah yang dulu masuk sekolah bareng-bareng Helen, sampai sekarang masih belum banyak kemajuannya.
Aku berhasil menamatkan SMA dengan hasil yang sempurna. Aku memilih melanjutkan ke Universitas Negeri dan mengambil fak ekonomi.
Setelah aku kuliah kebiasaan Helen tidak berubah, dia masih tetap minta aku yang memandikannya. Padahal sekarang dia sudah mulai berkembang menjadi seorang gadis. Dia tidak bisa lagi hanya mengenakan kaus singlet, karena puting susunya bisa terbaca di balik baju. Helen sudah berusia 11 tahun dan badannya mulai berkembang. Di sekitar kelaminnya mulai tumbuh rambut-rambut halus.
Pernah Bu Noto berusaha menghentikan kebiasan Helen dimandikan oleh ku. Dan aku pernah bersiasat dengan pura-pura pergi urusan sekolah saat dia seharusnya mandi. Tapi semua itu tidak berhasil. Helen tetap bersikukuh menunggu aku pulang, meski malam baru dia mau mandi. Bujukan ibunya tidak mempan.
Sekarang Helen malah lebih patuh kepada ku dibanding kepada siapapun di keluarganya.
Aku jadinya mengikuti betul pertumbuhan badan Helen dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Dari dia belum memiliki payudara sampai sekarang dia memerlukan mini set untuk menyangga payudaranya dan menyembunyikan tonjolan pentilnya.
Kadang-kadang aku silap juga saat memandikan Helen, pentilnya aku pelintir-pelintir, susunya aku remas pelan dan belahan vaginanya aku raba-raba. Tapi aku kembali terngiang pesan Pak Noto, sehingga aku surut kebelakang.
Di usia 12 tahun Helen makin menjadi gadis yang cantik dan tubuhnya berkembang bongsor. Dia tidak bisa lagi mengenakan miniset, dia sudah butuh BH. Meski sudah sebesar itu, Helen tetap saja manja dan penyakit lainnya dia tidak mau mandi sendiri, atau cebok sendiri kalau ada aku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah memang begini anak tuna grahita, atau memang Helen senang kumanjakan. Aku sulit menemukan jawaban dari kedua pertanyaan itu.
Ibu dan bapaknya sudah pasrah menuruti kemauan anaknya. Bukan aku ingin membanggakan diri, tetapi sejak aku merawat, Helen mengalami banyak kemajuan. Ia tidak lagi sekolah di SLB, tetapi sudah masuk ke SD normal.
Umur 13 tahun dia sudah kelas 6 dan bisa mengikuti pelajaran sekolah biasa. Meski nilainya tidak terlalu menonjol, tetapi cukup rata-rata air.
Walaupun sudah kelihatan normal, tetapi aku menilai Helen tidak terlalu normal. Aku selalu membantu mengulang-ulang pelajaran di sekolahnya, sampai akhirnya dia paham. Sulit sekali bagi Helen untuk menerima pelajaran dalam sekali belajar.
Umur 13 tahun Helen sudah menjadi gadis yang montok, dia tidak lagi menggunakan BH no 32A tetapi sudah mengenakan 34 A. Siapa pun lelaki yang berpapasan pasti melirik kemolekan Helen.
Meski sudah menjadi gadis, bahkan dia sudah mendapat haid, tetapi manjanya kepadaku makin parah aja. Sebesar itu dia masih minta dimandikan. Padahal kalau aku tidak di rumah dia sudah bisa mandi sendiri. Kemampuan itu sebetulnya sudah dia miliki sejak dia umur 12 tahun.
Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa mempertahankan bendungan agar tidak jebol. Apalagi sekarang sudah gadis. Teteknya sudah cukup besar. Kalau aku menyabuni bagian itu dia seolah-olah ingin memelukku. Apalagi kemaluannya sudah mulai ditumbuhi rambut. Meski tidak banyak tetapi sudah mulai kelihatan kehitam-hitaman. Jika bagian itu aku sabuni, dia menggeliat-geliat bahkan pinggulnya sering kali bergerak-gerak.
Aku tidak tahu pasti apakah Helen sudah mengerti soal sex. Namun yang jelas aku rasakan dia sudah mulai bisa menikmati rangsangan. Kadang-kadang jika teteknya aku sabuni tangannya ikut-ikutan meremas.
Aku pernah berbicara khusus dengan Bapak dan Ibu Noto, soal Helen, tentang bagaimana caranya menormalkan hubungan aku dengan dia. Aku menyatakan, sebenarnya dia sudah tidak pantas lagi aku mandikan. Tetapi semua orang di rumah ini tau, kalau dia marah dan ngambek. Dia mengunci kamar dan itu bisa sehari semalam. Kalau sudah gitu, hanya aku yang bisa meredakan dan membujuk dia.
Seperti sudah ku ungkapkan di awal cerita ini Helen lebih menurut kata-kataku ketimbang kedua orang tuanya. Helen memang sangat dimanja oleh kedua orang tuanya, maklumlah anak satu-satunya.
Jika aku pulang kampung, selama itu pula dia tidak mau sekolah dan hanya mengurung diri dikamar.
Dibalik keberhasilanku mementaskan Helen dari keterbelakangan mental, aku gagal menjadikan dia seorang gadis yang mandiri dan normal. Ketergantungannya dariku sangat-sangat tinggi.
Aku pernah berusaha merenggangkan hubungan dengan Helen dengan pura-pura sibuk mengerjakan tugas kampus. Dia ngambek dan mukanya suntuk. Kalau sudah gitu, kedua orang tuanya mulai panik dan menanyakan kepadaku, apa gerangan yang aku lakukan kepada Helen.
Aku akhirnya berterus terang memang sengaja berusaha merenggangkan hubungan. Kedua orang tuanya kemudian keberatan atas keputusanku. Mereka minta agar aku kembali seperti biasa.
Sifat manja Helen makin hari makin parah. Di umur yang ke 14 belas suatu hari dia minta tidur di kamarku.
Aku terpaksa menelepon kedua orang tuanya diam-diam sebelum benar-benar menerima. Kebetulan kedua mereka sedang berada di luar negeri, baru besoknya kembali. Helen kemauannya tidak boleh ditunda. Jadi aku tidak bisa beralasan menunggu kedua orang tuanya kembali baru dia boleh tidur bersamaku.
Pak Noto di ujung telepon sana terasa dia agak panik, tapi akhirnya menyerah dan kembali berpesan agar aku tetap menjaga kehormatan keluarga. Bu Noto yang kemudian ikut berbicara denganku dengan cemas juga berharap aku menjaga anak satu-satunya baik-baik.
Tempat tidurku memang king size, jadi masih lega di tiduri berdua. Tapi kalau sudah masalah tidur bersama, aku merasa sudah kelewatan.
Malam pertama tidur bersama Helen bisa kulewati dengan selamat, meskipun sepanjang malam Helen memeluku.
Sejak hari itu, Helen tidak pernah lagi tidur di kamarnya. Dia berkeras ingin tidur bersama ku. Aku kadang-kadang khilaf juga, meremas-remas teteknya dan meraba kemaluannya. Biasanya aku bisa ejakulasi di dalam celana. Tapi jika aku sudah tidak kuat lagi, aku kamar mandi mengonani agar tensiku menurun.
Sudah 3 bulan Helen tidur bersama ku. Sejauh ini keadaan aman-aman saja karena aku mati-matian menjaga nafsuku. Tapi aku nggak tahu bisa sampai kapan begini terus.
Aku ditelepon Pak Noto. Dia mengajak makan siang di restoran Jepang di salah satu hotel bintang 5. Ketika aku sampai disana ternyata sudah ada Bu Noto. Kami makan di ruangan yang agak eksklusif.
Rupanya mereka mengundangku karena ada yang ingin mereka utarakan. Aku tidak ingat persis kata-katanya. Namun intinya, mereka menyatakan berterima kasih kepadaku kerena telah berhasil mendidik dan melatih Helen sehingga dia seperti gadis normal. Pak Noto ngomong muter-muter, aku tidak ingat betul kata-katanya, tetapi pada akhirnya dia memohon, kiranya aku mau menjadi suami Helen.
Aku kaget seperti disambar petir.
Sejauh ini aku tidak pernah terbersit sedikitpun akan memperistri Helen. Apa yang kulakukan kepada Helen adalah ikhlas dan itu adalah bentuk pengabdianku kepada keluarga Pak Noto.
Aku memang tidak perlu harus menjawab sekarang, mereka memberi waktu untuk aku membicarakannya dengan orang tuaku di desa.
Pak Noto lalu menambahkan, jika aku menerima permohonannya, aku kelak setelah lulus tidak perlu pusing mencari kerja. Tempatku sudah di siapkan di perusahaan milik Pak Noto. Di samping itu aku diberi kesempatan untuk melanjutkan S-2.
Aku langsung merasa tidak enak hati. Buru-buru aku menjelaskan Pak Noto tidak perlu memberi imbalan seperti itu. Apa pun keputusan yang akan kuambil nanti aku ikhlas. “ Bukan begitu nak, kami memperhatikan kamu, kamu itu anak yang luar biasa pintar. Pikiranmu seperti mendahului usia. Perusahaan Bapak memerlukan orang seperti kamu,” kata Pak Noto.
Aku minta agar masalah hubunganku dengan Helen dipisahkan dengan tawaran kerja. Aku merasa selama ini sudah banyak sekali mendapat bantuan dari keluarga Pak Noto.
Setelah makan selesai akhirnya sebelum berpisah Pak Noto dan istrinya berpesan, bahwa aku tidak perlu harus menikah dalam waktu dekat ini, tetapi menunggu usia Helen 17 atau 18 tahun. Aku dibebaskan tidur dengan Helen sesuka ku dan semau Helen. Pak Noto sambil setengah berbisik “ Nak usahakan jangan sampai Helen hamil sebelum kalian resmi”.
Aku tidak siap mendapat pernyataan seperti itu. Jadi aku tidak memberi reaksi apapun kecuali canggung dan salah tingkah.
Dalam perjalanan pulang ke rumah berkecampuk pikiranku tidak menentu. Paling tidak dalam benakku ada dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama menyatakan bahwa terima saja tawaran Pak Noto, itung-itung sebagai balas budi. Bagaimana pun keluarga itu seperti memberi tangga bagi kehidupanku untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, apalagi Helen memang cantik meski punya riwayat tuna grahita. Kubu kedua mengatakan pengorbananku mendidik Helen rasanya sudah seimbang dengan bantuan keluarga itu kepada ku. Kalau tidak ada aku belum tentu Helen bisa seberhasil sekarang, tapi begitu juga kalau tidak ada bantuan Pak Noto belum tentu aku bisa kuliah di Universitas bergengsi. Jadi impaslah. Kalau aku harus menerima tawaran itu, artinya posisi tawarku jadi lebih tinggi. Meski dibayar dengan imbalan aku akan dipekerjakan di perusahaan Pak Noto, rasanya aku bisa juga mencari kerja di tempat lain.
Namun satu hal yang mengingatkanku, bahwa sejauh ini aku sudah melihat dan menyentuh seluruh tubuh Helen, bahkan 3 bulan terakhir kami tidur berpelukan, apakah aku tega meninggalkan Helen. Apalagi dia sudah sangat bergantung padaku.
Satu lagi yang berputar-putar dalam otakku adalah pernyataan Pak Noto, “ jangan sampai hamil”. Apakah ini merupakan tanda, atau lampau hijau aku boleh meniduri Helen, atau gimana sih. Aku waktu itu benar-benar bingung.
Malam itu aku tidak bisa tidur, sementara Helen memelukku semakin erat. Aku sama sekali tidak bergairah berhubung diliputi kebingungan.
Keesokan harinya aku mohon pamit untuk kembali ke desa . Pak Noto lalu menyiapkan tiket pesawat. Jika dengan pesawat aku bisa pulang hari, berangkat pagi kembali ke jakarta malam.
Di desa aku berembug bertiga dengan bapak dan ibu. Mereka menyerahkan keputusannya kepadaku, tetapi aku menangkap kecenderungan mereka agar aku menerima saja tawaran Pak Noto.
Aku merasa mantap menentukan pilihan, yaitu menerima tawaran Pak Noto.
Sesampainya aku di rumah Pak Noto, aku sepertinya memang sedang ditunggu. Mereka mengajakku masuk ke ruang kerja bapak. Disitu kami bertiga berbicara. Aku tanpa basa basi mengatakan bahwa menerima tawaran Pak Noto. Bu Noto langsung memelukku sambil berlinangan air mata. Pak Noto menyalamiku lalu memelukku dan menepuk punggungku beberapa kali.
Bu Noto keluar sambil mengusap air mata, tak lama kemudian dia masuk menggandeng Helen. Kami duduk berempat mengitari meja. Bu Noto berbicara kepada Helen, bahwa dia sekarang dijodohkan dengan ku. Air muka Helen langsung sumringah dan kedua tangannya ditakupkan ke dada.
Helen merangkul ibunya dan mereka berdua berderai air mata, lalu merangkul Pak Noto dan terakhir merangkulku erat sekali.
Anak ini sudah benar-benar normal.
Meskipun tidak ada acara tunangan, tetapi kami sesungguhnya seperti sudah bertunangan. Acara resmi bertunangan tidak mungkin diselenggarakan, karena Helen masih 14 tahun sedang aku 21 tahun.
Sekeluar dari ruang kerja itu Helen minta aku memeluknya sambil berjalan keluar.
Kuliahku sebentar lagi tamat, mungkin sekitar setahun lagi, sementara Helen baru masuk SMP. Pertanyaan kemudian muncul, apakah aku akan meresmikan hubungan melalui pernikahan ketika Helen umur 17 tahun . Itu artinya dia baru kelas 3 SMP atau baru masuk kelas 1 SMA. Kalau menunggu 6 tahun lagi berarti aku sudah akan berumur 27 tahun dan Helen 20 tahun.
Ruwet pikiranku, dan seperti di awal tulisan, aku mengabaikan rencana hidupku ke depan, bagaimana nanti saja lah.
Sejak pembicaraan di ruang kerja itu, Helen sudah memposisikan seperti istriku. Dia berusaha melayani kebutuhanku. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk melatih dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dia aku minta memasak, meski pun yang sederhana seperti mi instan, dadar telor dan nasi goreng. Betapa pun rasanya aku selalu puji hasil jerih payahnya. Dia juga sesekali aku minta menyetrika bajuku. Setiap dia menyerahkan hasil kerjanya selalu aku puji habis-habisn. Helen makin percaya diri dan makin terpacu untuk melakukan pekerjaan rumah lainnya.
Sejauh ini sudah 3 bulan sejak pembicaraan di ruang kerja Pak Noto, aku belum melakukan apa-apa terhadap Helen. Batinku sering berperang antara nafsu dengan tanggung jawab.
Seperti biasa, walaupun Helen sudah berusia 14 tahun, dan sudah menjadi gadis cantik yang montok, tetapi untuk urusan mandi, dia masih minta aku melakukannya. Dia kali ini minta dimandiin di kamar mandi dalam kamarku. Kami masuk kamar mandi, dan seperti biasa aku membantu Helen melucuti semua bajunya. Bodynya memang luar biasa. Meski usia 14 tahun, tetapi pantatnya sudah menggelembung, pinggulnya melebar, pinggangnya ramping dan susunya kelihatan terus memuai. Helen sekarang sudah mengenakan BH ukuran 34 dengan cup B. putingnya kelihatan kecil berwarna merah muda dan lingkarannya kecil berwarna lebih muda.
Aku setiap kali memandikan Helen tidak bisa dipungkiri, pastilah terangsang. Tapi selama ini bisa aku tahan meski sudah ada “green light” dari kedua orang tuanya. Paling paling aku meremas teteknya dan sedikit bermain di kemaluannya.
Tapi kali itu aku sulit menyembunyikan rangsangan. Helen memintaku agar mandi bersama. Artinya aku juga harus telanjang bersama dia. Selama ini aku tidak pernah telanjang di depan Helen. Ini akan menjadi yang pertama kalinya. Seperti biasa aku tidak bisa menolak permintaan Helen si anak manja ini. Apa boleh buat, apa pun yang terjadi, bagaimana nanti saja lah.
Aku mulai mencopoti bajuku satu persatu. Sampai bagian terakhir, celana dalam, Helen dengan gerakan cepat menarik celanaku kebawah. Batangku yang sudah mengeras dari tadi melenting begitu celana dibuka, hamir menampar muka Helen. Dia tentu saja terkejut. Apalagi ini adalah pertama kali dia melihat penis seumur hidupnya.
Helen terdiam sebentar dan bertanya kepadaku, “ Apa itu mas” tanyanya.
Aku jelaskan bahwa ini untuk pipis. Helen membanding miliknya yang tidak punya belalai. Dia baru menyadari bahwa milik pria dan wanita berbeda. Tanpa perasaan apapun dia lalu mencoba menyentuh penisku. Ditekan-tekannya. Dia bertanya kenapa keras begini, apa tidak mengganggu kalau pakai celana.
Aku berpikir sejenak, bagaimana menjelaskan ikhwal penis menegang. Aku memutuskan untuk menjelaskan secara gamblang.
Helen lalu meraba-raba vaginanya ketika dia mengetahui penjelasanku bahwa fungsi penis untuk dipenetrasikan ke dalam liang vagina wanita sebagai ritual bagi membuat anak. Dia lalu kembali menyentuh penisku, kali ini digenggamnya. Diperlakukan begitu aku tentu saja makin terangsang dan merasakan kenikmatan. Tanpa sadar aku mendesis. Helen bertanya, apakah aku merasa sakit. Aku terus terang mengatakan, jika dipegang begitu aku merasakan kenikmatan. Eh dia makin aktif menggenggam-genggam. Aku makin naik pitam, kuraih sabun lalu aku lumuri ke batang penisku dan Helen kuajari melakukan gerakan onani. Sambil dia mengonani aku meremas susunya dan menciumi leher dan sekitar belakang telinganya. Mungkin Helen ikut terangsang, karena gerakan tangannya makin cepat .Tidak lama kemudian aku mencapai ejakulasi. Masalah itupun ditanyakan Helen. Keingin-tahuannya sudah seperti anak normal.
Aku masih terangsang meski baru saja ejakulasi. Seorang wanita yang tubuhnya sudah cukup matang, kulitnya putih dan wajahnya cantik telanjang di depanku, sangat cepat memicu penisku kembali mengeras. Kali ini aku mencium bibir Helen. Dia pasrah, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Helen awalnya tidak bereaksi terhadap ciuman di mulutnya. Setelah aku makin ganas dia kemudian meresponnya dan memelukku makin ketat.
Ciumanku menjalar ke bawah ke leher, lalu sekitar gelembung payudaranya dan terakkhir memilin-milin putting susunya dengan kedua bibirku lalu menyapukan lidah ke pentilnya yang mengeras. Penisku sudah tegak kembali. Tapi aku belum berani untuk melakukan penetrasi. Tanganku merabai vaginanya yang terasa sudah berlendir. Kugosok-gosok dengan jari tengahku dan kucari clitorisnya yang ternyata sudah mengeras. Helen menggelinjang-gelinjang ketika clitorisnya ku gosok. Dia mencapai orgasme ditandai dengan seluruh permukaan vaginanya berdenyut-denyut seperti ritme ejakulasi yang kualami.
Helen memelukku erat sekali. Setelah agak reda kami melanjutkan mandi bersama di bawah pancuran air hangat. Penisku yang masih tegak berdiri berkali-kali dikocok Helen. Aku merasakan sedap, tapi sudah tidak terlalu sensitif seperti sebelum ejakulasi.
Kami menyelesaikan mandi bersama dan mengeringkan badan dengan handuk. Otakku masih tegang. Sehingga setelah badan kami kering aku tarik Helen ke tempat tidur dan kami berdua telanjang dibawah selimut. Helen memelukku dan menciumiku dengan ganas. Aku meresponnya. AC kamar ku yang biasanya terasa dingin kali ini tidak terasa. Aku bangkit mengunci pintu dan kembali menubruk Helen. Kami bercumbu diatas ranjang dalam keadaan bugil. Aku ingin mempraktekkan apa yang kuketahui dari bacaan-bacan selama ini, kecuali menyetubuhinya.
Aku duduk diantara kedua kaki Helen yang terbuka. Vaginanya tertutup bulu yang masih jarang, aku kuakkan hingga terlihat bagian dalamnya berwarna merah. Belahan vagina itu terlihat sudah diselimuti lendir. Aku melakukan observasi dari bentuk vagina dan melihat dimana letak clitoris. Aku menguak belahan vaginanya agar lebih lebar terbuka untuk melihat bagaimana keadaan di dalam vaginanya. Helen mengeluh sakit ketika aku menguak belahan vaginanya lebih lebar. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melihat bagian dalam, oleh karena itu keluhan Helen agak aku abaikan. Aku melihat semacam selaput di bagian agak dalam. Mungkin itu adalah selaput daranya. Sejauh itu hanya begitulah gambaran yang terlihat di dalam vagina Helen. Kulihat di ujung atas lipatannya ada semacam tonjolan yang mencuat. Aku menyapu-nyapu dengan jariku. Setiap kali aku menyentuh bagian itu, Helen menggelinjang.
Aku pernah membaca mengenai mengoral vagina. Dalam keadaan terangsang tinggi aku ingin mencobanya. Aku lalu merendahkan kepalaku dan lidahku menyapu pinggiran vaginanya. Helen menggeliat-geliat. Ketika ujung lidahku menemukan tonjolan yang mengeras, aku mengira itu adalah clitoris Helen. Lidahku bermain di clitoris Helen. Dia menggelinjang-gelinjang. Aku makin bersemangat sampai akhirnya Helen melenguh dan permukaan vaginanya membanjir oleh lendir dari dalam. Bagian itu berkedut-kedut. Mungkin Helen mencapai orgasmenya melalui oral perdanaku.
Penisku sudah mengeras dan sesungguhnya aku sangat menginginkan untuk menyetubuhinya, tetapi aku masih belum mempunyai keberanian. Aku hanya menggesek-gesekkan ujung penisku di mulut vagina Helen sampai aku ejakulasi.
Malam itu kami tidur telanjang dibawah selimut. Keesokan harinya Helen tampak sangat ceria, mungkin karena terlampiaskan libidonya tadi malam.
Setelah kumandikan dan aku juga mandi, kami kemudian turun ke bawah untuk sarapan pagi. Di meja makan sudah ada Pak Noto dan istrinya. Mereka berdua memperhatikan air muka Helen yang ceria. Aku waktu itu khawatir, ditanya macam-macam oleh orang tua Helen. Tetapi ternyata pertanyaan itu tidak ada. Helen berangkat sekolah dan aku juga menuju kampus.
Ritual mengoral menjadi kegiatan rutin setiap malam kecuali Helen sedang mensturasi. Sejauh itu sejak oral ku yang pertama selama lebih dari 1 bulan aku belum berani melakukan penetrasi. Perbuatanku yang paling berani hanya mendorongkan kepala penisku di bibir vagina Helen sampai aku ejakulasi. Terasa sulit benar untuk memasukkan hanya kepala penisku.
Helen sudah semakin lekat denganku.
Suatu malam aku lupa kapan itu, seperti biasa kami bercumbu. Aku seperti biasa mencoba memasukkan kepala penisku. Mungkin karena dorongan nafsu atau karena rasa ingin tahu yang besar, kali itu aku mendorong kepala penisku agak lebih kuat. Penisku bisa masuk agak dalam dengan bantuan aku menguakkan kedua bibir vagina. Kepala penisku bisa terbenam. Aku bercoba bermain dengan menarik dan mendorong. Gerakan itu makin lama makin lancar, karena pelumasan vagina Helen makin banyak. Aku lepas kontrol dan mendorong agak kuat di dalam vagina Helen sampai terasa menorobos sesuatu. Helen menjerit kecil dan air matanya meleleh di kedua ujung matanya. Penisku terbenam makin dalam dan ketika ku dorong terus, bisa makin ambles. Kuraba penisku, terasa seluruh penisku sudah tenggelam di vagina Helen. Aku kemudian baru menyadari bahwa aku telah memperawaninya. Aku terdiam sejenak untuk menetralisir nafsuku yang menggebu-gebu. Peralahan-lahan aku tarik dan dorong kembali, sampai perjalanannya lancar. Kelihatannya Helen tidak mengeluh sakit. Dia hanya meringis seperti menahan sakit, tetapi tidak mencegahku melakukan penetrasi . Terasa sekali cengkeraman vagina Helen yang sangat kuat, sehingga aku tidak bisa berlama-lama setelah gelombang ejakulasi mulai terasa akan segera datang. Buru-buru aku cabut dan di atas perut Helen spermanya kutumpahkan semua.
Aku terbiasa melapisi bagian bawah pantat Helen dengan handuk kecil agar sprei tidak ternoda oleh sperma maupun cairan. Kali ini handuk kecil itu ketika aku sapukan ke vagina Helen ada sebercak darah. Di batang penisku juga terdapat cairan darah yang bercampur dengan lendir.
Selama 3 hari kemudian kami tidak melakukan cumbuan kecuali tidur berpelukan. Sejujurnya aku ingin melakukan hubungan, tetapi jika Helen tidak memulainya, aku bersikap pasif. Mungkin dia merasakan kemaluannya kurang nyaman dan agak sakit setelah keperawannya ku jebol.
Secara defacto Helen telah menjadi istriku. Semua di rumah itu memaklumi dan tidak ada yang kelihatannya keberatan. Mbak Dini yang dulu menjadi baby sitter bagi Helen, kini sudah tidak bekerja lagi.
Helen menjelang umur 15 tahun sudah bukan lagi penyandang keterbelakangan mental. Dia sudah menjadi gadis cantik dan mempesona setiap pria. Rasanya jika aku tidak kenal dengan Helen dan ketika berpapasan, aku tidak akan menyia-nyiakan untuk memandangnya lebih lama.
Kelihatannya Pak Noto dan Bu Noto sudah menduga bahwa aku dan Helen telah melakukan hubungan suami istri. Tapi mereka tidak pernah menyinggung masalah itu di depanku. Kepada Helenpun mereka tidak pernah tanyakan.
Hampir setiap malam kami selalu melakukan hubungan, bahkan setelah bangun tidurpun masih ada ritual itu sebelum mandi. Jadi kami umumnya melakukan hubungan antara 2kali sampai 4 kali setiap malam. Helen meski masih hijau dalam hal umur, tetapi sebagai patner sex dia sangat luar biasa. Aku sudah melakukan semua yang pernah kuketahui, kecuali anal sex. Aku kurang menyukainya, itu saja sebabnya.
Suatu hari Bu Noto memanggilku secara pribadi. “ Nak biar hubungan kalian lebih leluasa, tolong bujuk Helen agar dia mau dipasang spiral,” katanya.
Mendengar itu aku merasa sangat malu, tetapi memang kenyataannya aku sudah leluasa berhubungan badan dengan Helen. Aku hanya menjawab, “ baik bu”
Sejak Helen dipasangi spiral, aku jadi lebih bebas melepas muatanku ke dalam vagina Helen, rasanya memang lebih nikmat.
Di usia 17 tahun Helen menjadi gadis yang menjadi idaman banyak pria. Wajahnya cantik, rambutnya lurus dan lebat, pinggangnya ramping, bokongnya gede dan yang istimewa, susunya memakai BH ukuran 38 B.
Aku setelah tamat kuliah memang bekerja di perusahaan Pak Noto. Dalam waktu singkat aku meraih berbagai prestasi. Pak Noto sudah tidak terlalu sering mengontrol usahanya. Aku diserahi mewakili dia mengontrol puluhan perusahaannya yang cukup besar. Entah karena aku berbakat, atau karena semua kerjaan aku lakukan dengan sepenuh hati, beberapa perusahaan Pak Noto yang dulu sering merugi sekarang meraih untung semua. Aku bahkan berhasil melakukan diversifikasi usaha ke beberapa bidang. Aku sendiri telah memiliki sekitar 10 perusahan besar.
Di usia ke 20 Helen dan Aku meresmikan hubungan dengan nikah resmi. Tentunya tidak ada malam pertama, tetapi aku merasa sangat bahagia, karena keberhasilanku dalam karir dan mengentaskan Helen dari keterbelakangan mental. Setelah resmi menikah, spiral Helen dilepas, dan aku merencanakan akan segera mempunyai keturunan .***

Artikel Terkait

0 comments:

Post a Comment

MustBhagoezt on
Add Me
Follow Me
Add Me
Langganan Gratis

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCPenney Coupons