Monday, October 15, 2012

Istriku Melamar Calon Istri Untukku

Sejak kecil sampai tumbuh dewasa aku hidup di lingkungan keluarga berada. Orang tuaku memiliki harta yang berlimpah. Aku dan adik-adikku dimanja dengan materi. Aku pria yang biasa-biasa saja kulitku agak gelap, meski belum bisa dibilang hitam. Meski aku tidak putih, tetapi tubuhku proporsional, muka bersih tanpa jerawat. Tinggiku rata-rata saja sekitar 175 cm.
Satu hal yang mungkin kurang diperhatikan dari kedua orang tuaku. Kami anak-anaknya kurang diperhatikan pendidikannya. Aku lebih suka kelayapan bersama-sama teman dan berganti-ganti pacar. Sejak SMP aku sudah mengenal hubungan sex. Mungkin karena tubuhku bongsor, sehingga aku tampil lebih dewasa dari umurku. Seingatku, aku melepas perjakaanku di kelas 2 SMP, aku dibujuk atau tepatnya digoda terus oleh salah satu saudara perempuanku. Dia lebih tua 5 tahun dan hubungan family sebagai kakak sepupu. Waktu itu dia tinggal di rumah menumpang untuk melanjutkan kuliah. Anaknya lumayan cantik dan bahenol.
Di umur yang masih sangat muda, aku tentu belum berani agresif, Winny demikian nama kakak sepupuku yang terus berusaha mendekatiku dan akhirnya kami sampai melakukan hubungan badan. Semua dia yang mengajarkan, aku seperti kerbau dicucuk hidungnya menuruti ajakan nikmatnya.
Orang tua kami berpandangan modern dan bebas, sehingga mereka mengabaikan saja, meski tahu aku sering tidur sekamar dengan Winny.
Pengalaman ku bersama Winny yang membawa diriku menjadi ahli dalam pergulatan tubuh, membuat aku menjadi lebih berani dan aktif terhadap cewek-cewek di sekitarku. Kuakui Winny memiliki nafsu yang besar, dan seingatku sejak pertama hubungan dengan ku dia sudah lihai mempermainkan penisku. Mungkin dia sudah tidak virgin lagi pada waktu itu.
Dia pula yang mengajariku berbagai trik dan tips untuk memuaskan pasangan wanita. Darinya aku tahu bahwa wanita memiliki puncak kepuasan yang disebut orgasme. Bahkan dia menuntunku sampai dia mencapai orgasme yang paling puncak yaitu orgasme G Spot.
Di usia 15 tahun aku sudah sangat paham cara memuaskan wanita. Karena badanku yang bongsor, maka onderdilku juga tegap dan lumayan panjang. Untuk ukuran orang Indonesia penisku yang 17 cm termasuk gede dan lingkarnya gemuk, sehingga tampilannya sangat proporsional.
Winny mengajariku, sehingga dia pun ketagihan pada kemampuanku. Dia bahkan berterus terang, berhubungan dengan pacarnya yang kemudian menjadi suaminya, kurang memuaskan. Sehingga jika dia habis main dengan pacarnya di luar, pulangnya dia minta jatah untuk aku puaskan. Dia bertahan, bahkan sampai menuju perkawinan karena keluarga cowoknya kaya dan katanya cowoknya sangat pengertian.
Kehidupanku yang malang melintang menindih berbagai macam cewek, dari mulai abg sampai tante-tante.
Sejak umurku 15 tahun aku sudah memiliki mobil sendiri, dan uang jajan yang diatas rata-rata teman sebayaku. Urusan sekolah akhirnya aku abaikan sehingga aku drop out di kelas 3 SMA. Aku tidak peduli, karena uangku berlimpah, dan kawanku banyak.
Cerita kemewahan berakhir pelan-pelan sejak ayahku meninggal. Praktis keluarga kami tidak lagi memiliki penghasilan. Ibuku yang sakit-sakitan setahun kemudian juga mengikuti ayahku menuju alam baka.
Aku mendapat warisan yang lumayan, karena harta orang tuaku hanya dibagi berdua dengan adikku.
Kelihatannya milyaran rupiah dan harta property yang demikian banyak kumiliki cukup untuk menunjang hidupku. Namun nyatanya itu semua hanya bertahan 5 tahun.
Di akhir kehidupan mewahku, aku menjual mobilku dan kost di tempat yang tidak terlalu mahal. Dari kendaraan sport mewah di masa lalu, kini aku pasrah memiliki motor bebek yang kubeli dari teman dengan harga miring.
Mungkin karena tampilanku yang agak macholah maka aku tidak dijauhi para wanita. Teman-temanku dulu malah sering mengajakku berburu cewek. Aku yang diumpan agar cewek tertarik. Kelihaianku mengolah kata dan penampilanku yang simpatik, sulit ditolak oleh cewek mana pun yang kami dekati.
Aku memiliki teman-teman yang sama hobinya, yaitu ngewek kemana-mana. Kami bertiga bahkan sering menggarap seorang cewek. Semua biaya yang menanggung adalah Doni, karena dialah yang paling berduit.
Diantara sekitar 5 orang cewek yang sering kami jadikan obyek party sex, ada yang paling menggairahkan, dia adalah Winda. Bodynya paling bagus, mainnya paling oke, dan wajahnya cakep. Dia paling gampang diajak kerjasama, sampai sampai anus dan vaginanya kami pakai bersamaan, dia sih oke-oke saja.
Kelihatannya dia naksir aku. Itu kuketahui, dia sering diam-diam mengajakku kencan dan kami menyewa motel, dia yang membiayainya. Wajar saja, tampangku paling oke diantara teman-teman dan kemampuan sex ku juga diatas mereka semua.
Malapetaka atau anugerah, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, Winda hamil dan dia menuduhku sebagai orang yang menghamilinya. Aku sudah berusaha berkilah, tapi Winda tetap bersikeras menuduhku yang menghamilinya. Dia dan keluarganya meminta aku bertanggung jawab. Aku tidak sampai hati membeberkan kebiasaan kami yang sering party dengan Winda kepada orang tuanya..
Singkat cerita akhirnya aku menikah dengan Winda di usia kehamilannya 4 bulan. Keluarganya cukup berada, sehingga sebagai hadiah perkawinan, kami mendapat rumah kecil agak di pinggir kota lengkap dengan isinya. Anakku kemudian lahir laki-laki dan ternyata ada kemiripannya dengan ku. Agak tenang juga hatiku, karena meyakini bahwa darah dagingku lah yang ada di Dimas demikian nama anakku.
Meski sudah memiliki anak, aku belum memiliki pekerjaan tetap. Pendapatanku hanya tergantung dari menjadi pialang orang mencari tanah atau rumah atau mobil. Syukurlah, Winda adalah wanita yang tangkas. Apa saja dikerjakan mulai menjual baju, tas atau apa saja. Hasilnya lumayan juga buat menunjang kehidupan kami sehari-hari. Pendapatanku tidak menentu, kadang-kadang dapat duit banyak, tapi lama kemudian tidak pegang duit sama sekali.
Pergaulan Winda yang luas dengan ibu-ibu menyebabkan rumah kami sering didatangi pelanggan Winda. Ada saja yang diobyekkan Winda , sehingga bisnisnya tidak pernah putus. Diantara ibu-ibu pelanggannya ada saja yang sering melirikku dengan pandangan penuh arti. Aku paham dengan pandangan seperti itu, tetapi karena mereka adalah relasi istriku, maka aku tidak berani macam-macam.
Suatu malam Winda menggamitku di tempat tidur. “ Pah aku mau ngomong serius, tapi papa janji jangan marah ya kalau tidak setuju,” katanya.
“Ngomong aja kok pakai janji segala, aku janji deh nggak bakalan marah, lagian mau ngomong apa sih,” tanya ku penasaran.
“Gini lho, papa tau enggak ibu Mira, janda yang sering beli barang-barangku. Dia kelihatannya tertarik ama papa. Aku iseng aja sebenarnya nawari, mau enggak jalan ama suami ku, Eh dia ternyata menanggapi serius. Dia malah mau kasi aku duit besar kalau dia bisa jalan sama papa,” kata Winda.
Jantungku berdetak kencang, karena terkejut, tetapi aku pendam sebisa mungkin agar nggak terlihat istriku. “Terus,” tanyaku.
“Ya itulah, papa mau nggak jalan sama dia, “ tanya istriku serius sambil meremas-remas batangku yang sudah makin keras.
“Lha mama gimana, apa nggak keberatan,” tanyaku pura-pura bloon.
“Nggak apa apa sih, yang penting papa mau, apalagi dia mau kasih duit gede, katanya,” kata istriku sambil mengelus-elus dadaku.
“Bener nih ma, nggak apa apa mama,”
“Ye orang gua yang nawarin, kok, ya nggak lah,” katanya.
Akhirnya kami berdua menyepakati untuk aku bersedia jalan sama Bu Mira.
Sekitar jam 11, ketika aku sedang santai di rumah dan istriku sudah jalan berbisnis, telepon masuk ke HP ku. “ Pa bu Mira sudah siap dia menunggu di hotel Cemerlang kamar 405, papa bisa enggak sampai di sana sekitar jam 12,” kata istriku dengan suara agak tergopoh-gopoh.
Hotel Cemerlang tidak jauh dari tempat tinggalku, sekitar 15 menit dengan sepeda motor, bisalah sampai di sana. Aku segera mandi dan mengenakan baju kaos ketat di padu dengan jeans. Penampilanku di usia 28 tahun terlihat kekar.
Kuketuk kamar 405 tepat jam 12 siang. Jantungku agak berdebar-debar. Bu Mira usianya sekitar 35 tahun, wajahnya ayu, dan tampilannya memang seperti ibu-ibu tajir. Dia mondar-mandir selalu nyetir sendiri Toyota Altis hitam. Aku sudah kenal dengan dia, tetapi tidak terlalu akrab,karena memang dia kolega istriku.
Tidak lama kemudian pintu terbuka, dan muncul wajah manis Bu Mira yang manis, “Eh dik, masuk-masuk, katanya menyilakan. Semerbak parfum menyergap penciumanku . Suasananya agak kaku, aku harus mengambil inisiatif untuk mencairkan suasana. Kuulurkan tanganku dan dengan gerakan yang tidak diduga kutarik badannya sehingga aku langsung mencium pipi kiri dan kanannya. Kesan akrab kuusahakan menghancurkan kecanggungan. Mulanya Bu Mira agak terkejut, tetapi dia melemaskan badannya dan pasrah ke dalam pelukanku lalu merelakan kedua pipinya yang wangi untuk ku kecup. Dengan merangkul pundaknya aku membimbingnya duduk di tempat tidur.
Bu Mira wajahnya memerah, mugkin dia masih malu. “ Bu santai aja, kita kan sudah dewasa, dan pertemuan kita kan sudah disepakati, jadi nggak usah merasa canggung,” kataku.
Dia menatapku sejenak lalu mencubit, pahaku, “ Ah mas Dicky ini bisa aja, biar gimana saya kan perempuan, “ katanya masih dengan roman muka malu.
“Mau minum apa mbak,” aku menawarkan minuman sambil berdiri menuju lemari pendingin di bawah televisi kamar hotel. “Eh enggak usah dik, eh aqua aja lah, yang digelas .Aku mengambil segelas kecil aqua dan aku sendiri, mengambil sekaleng bir. Aku memilih minum bir bukan mau sok-sok ke barat-baratan, tetapi aroma bir membuat bau mulut jadi agak menggairahkan. Siapa tahu aku nanti mengecup bibirnya, mulutku baunya jadi sensual.
“Gimana mbak bisnisnya, lancar,” tanyaku memecah keheningan sejenak. Bu Mira, seorang bisnis woman yang cekatan. Dia memiliki sebuah apotik dan satu minimarket. “ Yah biasa aja dik, ada naik turunnya,” katanya mencoba merendah.
“Mbak tiap hari sibuk dong ngontrol nya,” kataku sekenanya.
“ Ya itulah, kadang-kadang jalan macet yang bikin kesel, jadi rasanya badan cepet cape,” katanya. Tanpa menunggu komando kuraih kedua pundaknya lalu aku lancarkan pijatan ringan. Siapa pun akan merasa nyaman jika pundaknya dipijat, asal jangan terlalu keras. Merasa pundaknya aku pijat dia mengubah duduknya sehingga posisinya membelakangiku. Aku terus melancarkan pijatan sampai ke punggungnya. Mbak Mira terlihat menikmati pijatanku sampai dia menggeliat-geliat. “Eh ternyata Mas Dicky pintar juga mijat,” pujinya.
“Kalau mbak mau saya pijetin deh seluruh tubuhnya,” kataku menawarkan.
“Mau dong, enak kok pijetannya nggak sakit,” katanya.
Aku lalu menyarankan agar dirinya mengganti baju dengan kimono yang tersedia di lemari hotel. Mbak Mira bangkit meraih kimono lalu masuk ke kamar mandi. Aku melepas celana jeansku , sehingga tinggal celana boxer dengan kaus ketat.
“Mbak tidur telungkup deh, biar bagian belakangnya dulu yang aku pijat,” kataku memberi arahan.
Mbak Mira tidur telungkup sambil menjaga kimononya agar tidak tersingkap. Inilah perempuan. Meski tujuannya dia mau memakaiku, tetapi rasa malunya tidak bisa dia hilangkan. Aku maklum, memang begitulah perempuan, pembawaannya di awal selalu munafik.
Setelah berbaring telungkup aku memperbaiki posisi kimononya agar menutup tubuhnya maksimal. Dia membantu dengan mengangkat sebagian tubuhnya sehingga kimononya bisa lebih banyak menutup bagian bawahnya. Kedua tangannya menjulur kebawah.
Aku mulai memijat bagian telapak kakinya sambil menyesuaikan tekanan pijatan yang dia rasa nikmat. Mbak Mira tubuhnya ternyata mampu menerima pijatan yang agak keras. Kedua kakinya aku garap sampai batas lutut. Badannya mulai melemas dan pasrah oleh olah pijatku. Namun karena tidak ada cream maka pijatanku kurang maksimal.
Aku meraih tube cream body lotion yang memang tersedia di kamar hotel lalu kubalurkan ke bagian betisnya. Mbak Mira menggeliat-geliat menikmati pijatanku antara nikmat dan sedikit rasa sakit. Dari tekanan pijatanku terasa di beberapa tempat uratnya mengeras. Itu menandakan pimiliknya jarang dipijat dan terlalu banyak jalan.
Ketika kutanyakan hal itu, dibenarkan mbak Mira. “ enggak nyangka lho kalau dik Dicky pintar mijet, tahu gitu saya udah dari dulu minta dipijat dik Dicky,” ujarnya. Pijatanku mulai naik ke bagian paha, dengan menelusupkan tanganku dibawah kimononya. Aku menjaga tak sampai dekat dengan selangkangannya.
Setelah kedua kaki aku berpindah ke bagian tangan . Pertama tangan kanan dahulu lalu tangan kiri. Tidak ada yang ku-usilin dari memijat bagian tangan itu. Setelah keduanya aku mengatur agar tangannya ditekuk keatas seperti posisi orang angkat tangan menyerah. Aku mulai menggarap pundak, punggung lalu pinggang. Berhubung masih tertutup kimono maka pijatanku hanya menekan-nekan saja. “Mbak punggungnya mau diurut pakai cream? “ tanyaku.
“Boleh,” katanya.
Lalu pelan-pelan aku menarik kebawah kimononya dan membantu melepas ikatan di bagian depan. Terpaparlah punggung yang putih mulus dan di kedua sisinya menyembul daging buah dada yang kegencet badan. Mbak Mira ternyata sudah melepas BHnya. Aku mengurut punggungnya dengan cream dan sesekali menyentuh daging buah dadanya di sisi kiri dan kanan.
Dari punggung pijatanku turun terus sampai ke bongkahan pantatnya yang montok. Tanganku sengaja kumasukkan ke bawah celana dalamnya dan mengepal serta mengurut daging montok di kedua gundukan pantatnya. Bagian ini akan memberi efek rangsangan. Oleh karena itu dengan alasan mengurut pantatnya dia diam saja ketika celana dalamnya agak aku pelorotkan Aku meminta izin melepas kimononya dan dia mengangguk saja. Mbak Mira kondisinya sudah setengah telanjang tinggal celana dalam yang agak melorot sedikit. Dari belahan pantat aku memijat ke bawah ke bagian pangkal pahanya. Gerakan pijatan itu aku atur agar tidak mengesankan aku cari-cari kesempatan menjamah bagian terlarangnya. Sesekali tanganku meluncur sampai menyentuh belahan vaginanya. Mbak Mira terdengar mendesis tanpa dia sadari. Bagian itu sengaja aku perlama agar terus meningkatkan rangsangan. Ketika rangsangan sudah semakin meninggi aku melihat pantatnya berjungkat-jungkat ketika jariku menyentuh belahan vaginanya.
Aku menyiapkan tiga helai handuk yang terlipat panjang, sebelum memintanya berbalik menjadi telentang. Ketika dia telentang dengan sigap aku menutup bagian kemaluannya, bagian susunya dan helai handuk yang kecil menutup kedua matanya.
Aku kembali memijat dari bawah dari bagian kaki terus dengan cepat naik ke bagian pahanya. Ketika meminta izin melepas celana dalamnya, mbak Mira sama sekali tidak keberatan. Meski tidak bercelana dalam lagi tetapi kemaluannya masih tertutup handuk.
Giliran berikutnya adalah memijat dadanya. Mulanya aku tidak menyentuh bongkahan buah dadanya yang montok. Namun kemudian dia pasrah saja ketika penutup dadanya aku buka dan kedua bongkahan susunya aku pijat dan sesekali memelintir puting susu. Nafasnya mulai memburu. Aku terus turun ke perut dan bagian dadanya sudah tidak berpenutup lagi. Bongkahan susunya yang montok bergetar jika badannya menggeliat. Aku memijat ringan di bagian perutnya yang lembut lalu turun kebawah dan bagian selangkangan. Dengan gerakan sambil memijat, penutup bagian bawahnya akhirnya terbuka . Terpampanglah segitiga kemaluan dengan jembut yang lumayan lebat. Pemiliknya sudah tidak peduli. Aku memijat sisi kemaluannya di bagian kiri dan bagian kanan . Mbak Mira makin menggelinjang-gelinjang. Pelan-pelan jariku kuselipkan di lipatan kemaluan. Terasa berlendir basah di lipatan itu. Mbak Mira berjingkat-jingkat ketika jariku kugesekkan ke belahan memeknya.
Dia pasrah saja ketika kedua kakinya kulebarkan. Terpampang belahan merah muda memeknya dengan pinggiran berbulu jembut lebat. Dengan gerakan pelan, kepalaku kudekatkan ke memeknya dan juluran lidahku langsung menyentuh ujung clitorisnya. Mbak Mira mengeluh dan merintih akibat serangan lidahku ke clitorisnya. Aku terus menyerang clitorisnya dengan jilatan mautku, sampai dia mencapai orgasme.
Penutup matanya dia buka, matanya terlihat sayu. “ Dik permainanmu halus sekali, saya puas sekali. Sudah lama sekali saya tidak pernah mencapai kepuasan seperti ini,” pujinya.
“Kalau mbak mau bekerjasama aku bisa mengantar mbak ke tingkat kepuasan yang lebih tinggi,” kataku.
“Ah masak sih ada kenikmatan yang lebih dari ini,” tanyanya dengan wajah tidak percaya.
”Mari kita coba mbak, yang penting mbak pasrah dan menikmati apa yang dirasakan,” kataku.
Dia menutup mata, lalu kedua jari ku, jari tengah dan jari manis ku colokkan masuk ke dalam lubang vaginanya yang sudah licin oleh pelumas vagina. Pelan-pelan kucolok keluar masuk sambil mencari pusat titik kenikmatan di dalam vagina yang dikenal dengan Gspot. Mulanya mbak Mira diam saja. Tidak lama kemudian dia mulai bersuara, merintih, mendesis. Gerakan tanganku tidak lagi mencolok keluar masuk, tetapi menekan-nekan keatas langit-langit dinding vaginanya sampai badannya agak terangkat karena gerakanku yang kasar. Dia makin merintih dan suaranya makin berisik lalu berteriak-teriak nikmat. “ Aduh-adduh aku nggak tahan, aduh rasanya kebelet pipis, dik aku nggak tahan dik aaaahhhhhhh” bersamaan dengan itu menyemprotlah cairan seni mengenai tubuhku. Untung kausku sudah kulepas, sehingga semburan kencingnya mengenai seluruh tubuhku termasuk sebagian masuk ke mulutku. Aku sudah tahu risiko itu dan aku suka oleh semprotan itu.
“Dik maaf banget ya dik aku nggak bisa nahan, abis nikmatnya udah nggak kebendung banget, emang bener dik rasanya luar biasa dan lebih nikmat dari yang tadi aku rasakan. Seumur-umur baru sekali ini aku ngrasain, kata Mbak Mira.
Rasanya badanku lemes banget dan ngantuk, kata mbak Mira.
Aku tidak mempedulikan apa yang dia ocehkan, kecuali langsung menyergap mulutnya lalu aku lumat dalam dalam. Mbak Mira membalas dengan penuh gairah. Puas memagut bibirnya aku turun memilin kedua putingnya dengan jepitan mulutku. Sambil begitu aku melepas celanaku sehingga batangku yang sudah mengeras langsung menempel ke paha mbak Mira. Dia berusaha meraih kontolku tetapi tangannya tidak sampai. Kunaikkan badanku dan mengarahkan penisku ke mulut vaginanya. Dia ikutan meraih kontolku dan menggenggamnya. “ Ih besar bener senjatamu dik, “ katanya sambil membantu mengarahkan ujung penisku memasuki vaginanya.
Aku harus bersabar menekan penisku, karena lubang vaginanya belum terbiasa menerima benda asing yang cukup tegap. Pelan-pelan vaginanya menyeruak dan pemiliknya berkali-kali berteriak ooh oooohh oooh.
Aku memompanya perlahan-lahan dan makin lama makin cepat, Sambil mencari posisi yang menggesek Gspotnya. Pada posisi tekanan maksimal di gspotnya dia mulai gila berteriak mencengkeram sprei dan kepalanya menggeleng-geleng liar. Tidak sampai 5 menit dia sudah mencapai klimaks tertingginya lagi. Aku beristirahat sejenak. Lalu aku genjot lagi dia merintih sambil mengeluh badannya lemas sekali dan lelah, tapi karena nikmat dia masih mau lagi dan kembali dia mencapai orgasmenya dalam jeda hanya 2 menit. Aku menkonfirmasi, apakah mau disudahi apa diteruskan. “ Terusin aja dik sampai kamu keluar aku mau merasakan semburan hangat pejuhmu di dalam,” katanya.
Dia merintih-rintih sambil berkata, “ aku lemes banget dik tapi enak banget ah–aaah” katanya sambil terus menggoyangkan tubuhnya. Untuk mencapai klimaksku,aku berkonsentrasi penuh. Akhirnya gelambang orgasmeku datang dan batangku ku benamkan dalam-dalam sampai akhirnya menyeburlah cairan dari ujung penisku. Kelihatannya semburan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi Mbak Mira, sehingga dia pun menjerit orgasme. Aku merasakan sekujur liang vaginanya berdenyut-denyut.
Aku benamkan sampai batangku agak mengecil. Ketika kutarik lepas penisku dari lubang kenikmatan, Mbak Mira sudah tertidur pulas. Dia terlentang telanjang dalam tidur yang dalam. Aku bangkit ke kamar mandi sambil menenteng handuk yang tadi ku gunakan untuk menutup sebagian tubu Mbak Mira. Setelah membersihkan bekas-bekas lender di sekitar kemaluanku, aku membasahi handuk kecil dengan air hangat. Handuk lembab dengan rasa hangat itu aku gunakan untuk membersihkan sekujur kemaluan Mbak Mira.
Aku masih tetap bugil tidur di samping Mbak Mira dan berdua dalam keadaan bugil tertutup selimut tebal. Mungkin dia merasa kehadiranku di sebelahnya sehingga dia tak lama kemudian mengubah posisinya, miring memelukku. Kepalanya dia letakkan di dadaku.
Aku pun terlarut dan ikut tertidur. Mungkin sekitar sejam kami tidur, Mbak Mira yang terbangun dahulu. Dia duduk dan meraih jam tangan di meja kecil sebelah tempat tidur. “ Aduh nggak terasa waktunya kok cepet bener ya, “ katanya.
“Kenapa mbak, santai aja lah,” kataku.
“Maunya sih gitu, malah pengen tambah lagi, tapi aku ada janji ama investor, gimana yaaaa,” dia bergumam sendiri.
Diraihnya HP nya lalu dia berbicara di HP, dari materi pembicaraannya dia seperti berkomunikasi dengan investor yang dia maksud. Mbak Mira kelihatannya minta menunda pertemuannya menjadi keesokan harinya. Mungkin disetujui oleh lawan bicaranya, sehingga di akhir pembicaraan dia mengatakan ‘ Oke pak terima kasih sampai besok,”.
Selesai pembicaraan itu . Mbak Mira langsung menelungkup di atas tubuhku dan menciumi wajahku sampai dadaku dan akhirnya dia menyingkap selimut. Dia menggenggam penisku. Di jilati ujungnya .Penisku masih terkulai, tetapi sudah setengah terisi. Dia menyantap p[enisku dengan lahap, dijilati seluruh batangnya sampai bagian kantung zakar, lalu berusaha melahap batangku. Tidak sampai setengah mulutnya sudah kepenuhan.
Diperlakukan begitu, batangku makin mengeras sampai akhirnya tegak. Mbak Mira mengambil inisiatif mengangkangiku sambil membimbing batangku memasuki tubuhnya. Dia kemudian bergerak liar sampai akhirnya terjerembab di atas dadaku karena oprgasmenya.
Di akhir pertemuan Mbak Mira berkali-kali memujiku sebagai orang yang pandai melayani wanita, bahkan dia terus terang mengatakan iri melihat keberuntungan istriku memperoleh ku. Sebungkus amplop yang kelihatannya cukup tebal diserahkan kepadaku.
Dengan halus aku tolak. “ Mbak kasih Winda saja mbak, jangan ke saya.”
“ Nanti bagian Winda ada lagi, ini terima saja, untuk ongkos,” katanya.
Aku dengan halus tetap menolak dan menyarankan agar diberikan ke istriku saja.
Akhirnya kami berpisah dan Mbak Mira mengatakan masih menginginkanku lagi. “Dik jangan kapok ya sama saya, aku masih penasaran,” katanya.
Sesampai di rumah aku disambut istriku. “ Gimana Pah, Mbak Mira kok keliatannya puas ama papa,” kata istriku.
“Lho dari mana mama tahu,” tanya ku penuh selidik.
“Barusan dia telepon dan dia sudah transfer, lumayan juga lho pa,” kata istriku sambil menunjukkan layar HPnya. Istriku melanggani M banking sehingga laporan transaksi langsung masuk ke no HP nya.
Setelah kejadian yang pertama itu, Mbak Mira masih sempat berkencan sekali lagi dengan ku. Istriku tentu senang-senang saja menerima permintaan Mbak Mira.
Suatu malam ketika habis menunaikan tugasku terhadap Winda, dia kembali menggamitku.
“Pa aku mau ngomong lagi ama papa,” katanya dengan pandangan yang serius.
“Apa lagi, siapa lagi yang pingin jalan,” kataku santai.
“ Bukan itu itu pa.” katanya.
“Lantas apa,” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Itu lho Mbak Mira, masak dia minta izin aku agar papa diperbolehkan malakukan kawin siri dengan dengan dia,” katanya agak ragu.
“Hah apa,” kataku terlonjak kaget sampai aku bangun dan duduk di sebelah istriku.
Belum sempat aku berpikir jauh, istriku sudah nyerocos.
“Menurut papa, gimana itu,” tanyanya agak ragu.
“Lha mama gimana,” tanyaku.
“Kalau mama pikir-pikir sih, kayaknya kalau papa bersedia, aku nggak masalah sih, apa lagi dia berjanji mau mencukupi kebutuhan rumah tangga kita,” kata istriku.
“ Kenapa sih pakai kawin siri segala, emang kalau main seperti biasa dia nggak puas,” tanyaku.
“Ya mama juga sudah tanya ke Mbak Mira, tapi kata dia, batinnya selalu bertentangan,” kata istriku yang ternyata sudah menyelidik juga.
“Dia ingin kebutuhannya terpenuhi, tetapi tidak melanggar larangan agama, gitu katanya,” kata istriku.
Aku dan istriku akhirnya menyepakati, dan di damping istriku, Aku dan Mbak Mira kemudian melakukan akad nikah secara sederhana.
Aku tidak tahu, apakah karena Mbak Mira menginginkan sex dariku atau dia menemukan sosok laki-laki yang bisa menjadi tempat perlindungannya.
Mbak Mira menepati janjinya, sehingga di waktu-watu berikutnya kehidupan kami makin sejahtera . Aku pun terpaksa harus pandai membagi waktu untuk menggilir Mbak Mira dan istriku. Sejauh ini aku tidak menangkap rasa cemburu dari istriku dengan kehadiran madunya. Mereka malah makin akrab seperti kakak adik.
Malah lebih parah dari itu kami sering main bertiga dalam satu kamar. Aku sekaligus melayani istriku yang pertama dan Mbak Mira. Mereka akur sekali sampai berbagi kenikmatan di ranjang pun mereka akur bahkan bekerja sama.
Sejauh ini aku masih mampu menghadapi kewajiban biologis para istriku, mungkin karena usiaku yang relatif masih muda sehingga daya tahan pertempuranku masih prima. Namun gimana nanti kalau usiaku terus bertambah. Secara manusiawi, pastilah kemampuan sex itu bakal menurun. ***
Pada cerita bagian pertama aku telah mengisahkan bahwa aku memiliki 2 istri. Istri pertama menikah karena kecelakaan dan melahirkan anak laki-laki. Meski mulanya ragu, itu anak siapa karena istriku sering menjadi peserta orgy bersama teman-temanku. Namun dari sosok anakku ada beberapa yang mirip denganku. Meski belum melakukan tes DNA,tetapi aku agak tenang, paling tidak di tubuh anakku masih mengalir darah dagingku.
Istri kedua kunikahi secara di bawah tangan, setelah istriku memperkenal dia sambil berharap aku bersedia memenuhi kebutuhan biologisnya. Istri keduaku dapat dikatakan sahabat istriku, berkat pergaulan mereka dalam bisnis. Istri kedua, meski lebih tua, tetapi di ranjang dia masih agresif. Jika usiaku ketika menikah dengannya masih 28 tahun, Mira demikian nama istri kedua ku berusia 35 tahun. Dia janda yang aktif dalam bisnis, sehingga ketika kunikahi dia sibuk mengurusi sebuah minimarket dan sebuah apotik miliknya.
Hampir setahun aku menjalani hidup poligami, dengan dua istri. Aku berusaha memberi perhatian yang seimbang. Meski istri kedua, aku memberi perhatian, waktu yang sama kepada Mira. Bersyukur kedua istriku rukun, tidak saling cemburu. Istri pertama ku memanggil Mira dengan tambahan sebutan Mbak, karena istriku lebih muda 8 tahun. Sebaliknya Mira memanggil istriku dengan tambahan sebutan dik. Aku sendiri menyebut mereka dengan mama Winda dan mama Mira.
Mira meski pernah menikah , tetapi dia belum sempat memiliki anak dari suaminya terdahulu. Aku tidak mau pusing menyelidiki kenapa mereka pisah, karena Mira juga tidak pernah bercerita soal itu.
Sejak aku menjadi suami Mira , aku diangkatnya sebagai tangan kanannya mengurusi berbagai urusan bisnis dan pernak-pernik lainnya, yang memang sepantasnya diurus laki-laki. Kami sangat terbuka dalam masalah sex. Kalau Winda memang sangat terbuka dalam masalah itu, karena sejak sebelum kami menikah kami sudah terbiasa orgy bersamanya. Mungkin terpengaruh oleh pembawaan Winda, Mira pun akhirnya bisa menerima kegiatan sex yang terbuka.
Suatu malam ketika kami bertiga berada di rumah Mira, sampai akhirnya kemalaman, Mira menawarkan aku dan Winda tidur di rumahnya. Namun karena kamar di rumahnya hanya ada 2.Kami tidur di satu kamar. Kamar kedua dibuat untuk menyimpan berbagai keperluan, jadi sudah seperti gudang. Kamar tidur Mira cukup besar dengan spring bed ukuran king size.
Mulanya kami tidur damai-damai saja. Demi keadilan, maka aku diposisi tengah diantara Mira dan Winda. Diapit dua wanita yang secara sah memang milikku, dan kejahilan tangan Winda meremas-remas penisku, aku jadi sulit tidur.
Mulanya Mira agak malu melihat Winda aktif mencumbuiku. Namun Winda pandai mengambil hati Mira. “Mbak ayo mbak kita kroyok Dicky, masak kita terus yang dikalahkan,” kata Winda.
“Ah kamu aja lah saya ngantuk,” tolak Mira dengan nada yang kelihatannya tidak sungguh-sungguh. Namun aku tahu kelemahan Mira, Dia tidak berdaya jika puting susunya sudah tersentuh.
Sementara celanaku diplorotin Winda, aku memeluk Mira dan memainkan puting susunya. Nafasnya mulai memburu tandanya birahi mulai terbangun. Pelan-pelan aku lolosi bajunya sampai tinggal celana dalamnya. Dia pasrah saja, sampai akhirnya celana dalamnya pun aku tarik. Aku mulai mengoral kemaluannya. Pada titik ini Mira tidak akan pernah mampu bertahan diam. Baru sekitar 5 menit, dia sudah kelojotan dan moaning, tanpa memperdulikan kehadiran wanita lain di sekitarnya. Sementara itu Winda melomoti penisku yang telah kaku.
Mira mencapai orgasmenya. Tanpa menunggu dia menyelesaikan denyutan klimaksnya aku langsung menancapkan penisku perlahan-lahan. Mira makin merintih dan menjerit perlahan-lahan ketika merasa lubang memeknya aku terobos. Seluruh rongga vaginanya penuh dengan penisku dan sudah tertancap sepenuhnya.
Aku sudah mengenal benar posisi penisku menghadapi Mira, sehingga tidak perlu lama mengayuhnya Mira sudah kembali kelojotan dengan klimaksnya tertinggi. Keringat memenuhi dahinya. Padahal kamar ini cukup dingin.
“Dick aku nyerah deh, gantian deh dik Winda , tulang-tulangku rasanya udah mau copot, aku ngantuk banget, “ kata Mira yang baru aku genjot sekitar 15 menit.
Kupenuhi permintaan Mira dan aku langsung berpindah ke memek Winda yang sudah standby ngangkang. Memek Winda terasa hangat dan agak banjir dengan lendirnya. Namun meski begitu lubangnya masih cukup mencengkeram, karena Winda punya keistimewaan, pelumas memeknya lebih kental dan agak lengket.
Sekitar 10 menit aku genjot Winda dia sudah 2 kali kelojotan dan akhirnya dia minta aku mengakhiri permainan, karena badannya terasa lelah sekali. Padahal aku belum mencapai klimaksku. Aku mencabut penisku yang masih kaku sempurna.
Aku tidak memaksakan mengeluarkan spermaku. Aku berhenti di tengah perjalanan. Ini untuk menjaga staminaku, menghadapi musuh yang kali ini jumlahnya dua kali lipat. Winda dan Mira sudah lelap tertidur dalam keadaan bugil. Aku menutupi selimut di kedua tubuh mereka. Keduanya terdengar mendengkur halus.
Aku bangkit dari tempat tidur dan membersihkan diri lalu sambil hanya mengenakan celana pendek, menuju lemari es untuk menetralisir nafsuku. Penisku berhasil agak melemah. Aku lalu ikut tidur di antara mereka berdua.
Sejak masih di SMP dulu aku sudah latihan olah pernafasan dengan perguruan XP. Sudah lebih 10 tahun aku aktif di perkumpulan itu, sehingga soal bertanding di atas ranjang, bukan tantangan berat bagiku. Olah pernafasan yang sudah cukup aku kuasai, memberi kemampuan kepada diriku mengontrol kapan sperma akan dilepas dan kapan harus bertahan.
Kehidupan sex dengan istri-istri makin terbuka, mereka sudah berani terang-terangan minta jatah ku kalau sedang menginginkan. Kadang-kadang aku diijinkan menggilir, tetapi yang lebih sering makan bersama. Aku pun tidak setiap malam melepas spermaku, karena aku menargetkan seminggu hanya 2 kali mencapai orgasme.
Sejauh ini kedua istriku dapat dikatakan terpenuhi kebutuhan bioligisnya, malah setiap kali permainan mereka selalu angkat tangan, alias menyerah minta aku tidak meneruskan mendera mereka. Kayaknya superman banget aku, ya. Sebetulnya, tidak juga. Aku hanya bisa mengendalikan diri dan mengatur kemampuanku diatas ranjang, itu saja. Selain itu aku menjaga asupan gizi yang sehat dan olahraga ringan.
Bisnis Mira makin berkembang, dia sedang merencanakan membuka satu outlet lagi mini market. Sementara itu Winda menemukan lahan bisnisnya yang cocok, yaitu menjadi agen property. Kehidupan ekonomi di kedua rumahku sudah lebih dari cukup. Jika dahulu aku mondar mandir mengendarai sepeda motor, sekarang, lumayanlah sudah bisa membeli sendiri Avanza.
Aku sendiri tidak jelas kerjanya, tetapi setiap hari sibuk membantu kegiatan kedua istriku. Kami bertiga sudah saling mengisi dan bekerjasama dengan baik. Di ranjang saling berbagi, di luar rumah aku bagaikan manager terhadap kegiatan istri-istriku.
Kami sering janjian makan di restoran yang bergengsi. Mungkin jika orang melihat kami, tidak menyangka bahwa kedua perempuan di sekelilingku adalah para bini. Penampilanku dan istri-istriku sudah seperti orang kantoran yang penampakannya seperti sedang membicarakan urusan bisnis.
Oleh karena itu ketika Mira dan Winda suatu kali meneleponku untuk bertemu di satu restoran Jepang kondang, aku tidak menyangka bahwa ada hal penting di luar bisnis yang menjadi topik. Itu pun baru ku ketahui kemudian hari.
Seperti biasa, restoran Jepang itu memiliki semacam ruang tertutup. Ketika aku masuk, ternyata mereka berdua sudah ada di dalam dan bisnis woman yang selama ini kuketahui dari pemberitaan di media. Aku diperkenalkan, dia menyebut namanya “Angela”. Gadis di pertengahan usia 30, kelihatannya keturunan Chinese karena putih dan cantik. Badannya langsing, sekilas buah dadanya tidak terlalu menonjol.
Tidak ada hal istimewa yang dibicarakan pada acara lunch itu, kecuali hanya makan dan saling guyon. Kelihatannya Anggela lebih akrab dengan Mira. Kelihatannya mereka teman lama. Meskipun Angela baru kenal dengan ku, dia sama sekali tidak menelisik mengenai diriku. Aku pun bersikap demikian, karena sebagian sepak terjangnya di dunia bisnis aku tahu dari pemberitaan di mass media. Angela sebenarnya termasuk pengusaha sukses, karena dia memiliki beberapa perusahaan besar.
Karena Angela tidak menelisik latar belakangku, aku jadi curiga bahwa CV ku sudah diketahui sebelum pertemuan ini. Mungkin Mira atau Winda yang sudah menceritakan tentang diriku . Namun beberapa kali aku menangkap pandangan yang berarti pada diriku. “ Ah jangan-jangan istri-istriku memasarkan aku pada cewek tajir ini, tapi apa mungkin, orang sekaya itu mau sembarangan, “ begitu pertanyaanku menggantung di kepalaku.
Aku tetap menahan diri, tidak menanyakan, apa maksud para istriku mempertemukan dengan Angela. Selesai makan, Angela mohon izin terlebih dahulu meninggalkan kami. Setelah 5 menit baru kami keluar. Itupun karena Mira yang memberi aba-aba agar kami jangan keluar dulu. Wah makin misterius.
Para pembaca pasti sudah menebak kemana arah ceritaku berikutnya. Apakah tebakan itu benar atau meleset, mari kita ikuti terus tulisanku.
Bill makan kami rupanya sudah diselesaikan Angela, sehingga kami melenggang keluar restoran. Di rumah aku menahan diri tidak menanyakan perihal pertemuan dengan Angela, Winda tanpa kuminta menceritakan bahwa Mira sedang berusaha menggoalkan satu proyek besar. Ketika aku menggilir Mira, dia juga bercerita begitu. Ah ngapain penasaran, biar aja, toh nanti waktu akan membuktikan. “ wait and see”.
Saat aku menggilir Mira, dia mengatakan ingin minta pertolongan aku membelikan barang yang hanya bisa dibeli di Singapura. Untuk itu aku diminta segera mengurus paspor. Aku tentu saja senang juga . Sudah lama aku tidak ke Singapura. Dulu ketika masih SMA aku bersama keluarga pernah berlibur ke negara itu. Mungkin sudah lebih 10 tahun. Sejak jatuh miskin, tidak pernah terpikirkan oleh ku bisa ke Singapura lagi.
Setelah paspor selesai, aku diberi seberkas amplop yang berisi voucher hotel, termasuk dolar sing dan daftar pesanan barang yang akan dibeli disana. Aku tiba di hotel Shangri La. Kamar yang dipesan dengan voucher yang kupegang ini adalah kelas suite. Ah Mira kelihatannya berlebihan memesan kamar untukku. Untuk membeli pesanan yang tidak terlalu mahal, sewajarnya adalah kamar standar saja.
Ketika memasuki room, aku lebih terperanjat lagi, karena suite roomnya memiliki dua ruang , ada ruang tamu dan ada ruang tidur. Wah mewah amat sih. Mira terlalu boros. Kuintip jendela tampak pemandangan ke kota .
Ah repot amat, nikmati saja. Hari itu aku menyelesaikan pembelian pesanan dan sore aku sudah berendam di air hangat di kamar mandi hotelku. Aku menghayal, seandainya ada perempuan yang menemaniku malam ini. Masalahnya penisku mulai menggemuk karena terendam air hangat. Di tengah hayalan aku dikejutkan oleh deringan telepon. Operator mengatakan ada tamu yang ingin bicara.
“Halo, ini Dicky ya, saya Angela,” suara lembut diseberang sana.
“Eh ya betul, Angela ada dimana,” tanyaku bodoh. Padahal tadi operator sudah menyebutkan tamu hotel yang ingin bicara.
“Boleh saya naik ke kamar,” tanyanya agak ragu.
“Eh oh, boleh, nanti saya telepon front office agar bell boy mengantar ke atas, maaf saya masih di kamar mandi.” jawab saya. Hotel ini membatasi sembarang orang naik ke kamar, sehingga jika tidak memiliki kunci kartu, tidak bisa naik lift, kecuali diantar oleh petugas.
Aku buru-buru mengeringkan badan dan memakai baju yang pantas karena konglomerat mau datang ke kamarku. Ah untung juga si Mira memesankan kamar suite, jadi nggak malu-maluin terima tamu pengusaha tajir.
Denting bel pintu berbunyi, ketika kubuka pintu yang muncul duluan adalah bell boy lalu tampak dibelakangnya ada Angela. Tapi disamping Angela ada seorang wanita yang kelihatannya keturunan chinesse juga. Aku segera mempersilakan mereka berdua masuk.
Angela memperkenalkan wanita yang kelihatannya berumur lebih tua. “ Ini mama saya,” katanya.
Belum habis terperanjatku, aku jadi makin bingung, kenapa Angela membawa mamanya dan memperkenalkan ke aku. Apa kira-kira ujungnya.
Mamanya memperkenalkan diri bernama Shinta, Wanita setengah umur yang terawat, masih cantik, belum banyak lemak di tubuhnya. Kami duduk di ruang tamu. Aku menghidangkan Chinese tea hangat yang kuseduh dari fasilitas yang tersedia di kamar.
“Sebelum mas Dicky bertanya, saya jelaskan aja, bahwa aku ajak mama menemui mas Dicky untuk ditolong. Kata Mira mas Dicky pintar memijat dan mengobati. Dia sih ceritanya berpromosi habis-habisan tentang kehebatan mas Dicky, “kata Angela.
“Ah Mira terlalu berlebihan berpromosi, kenyataannya saya tidak sehebat itu, kalau sekedar pijat ya sedikit-sedikit bisa. Soal mengobati, wah saya gak berani janji apa-apa, karena selama ini kalau ada yang terobati, mungkin kebetulan saja,” kataku berusaha merendah.
“Siapa yang ingin dipijat, dan sakit apa kok kelihatannya serius betul, “ tanya ku.
“ Ini lho mama, kalau sudah pusing kepalanya dia sampai menangis dan ingin membenturkan kepalanya. Kalau lagi kumat dia marah-marah gak tentu, kita-kita kan jadi bingung,” ujar Angela.
Di beberkan begitu, mamanya hanya tertunduk malu, raut mukanya tersenyum malu.
“Maaf yang bu dan mbak Angel, papanya masih ada,” tanyaku.
“Papa sudah 3 tahun meninggal,” ujar Angela dengan mimik agak pilu.
“Oh maaf,” kataku.
“Kok Tanya mengenai papa, apa ada kaitannya dengan sakitnya mama,” tanya Angela serius.
“Ah soal kaitannya sih saya gak tahu, tapi saya cuma ingin tau saja, “ ujarku.
“Eh gimana kamarnya mas Dicky, kerasan? Mbak Mira wanti-wanti banget agar mas Dicky diberi kamar yang nyaman,” kata Angela.
Aku langsung membatin, pantesan kamarnya bagus amat, orang si konglomerat yang pesen. “Ah kamarnya terlalu bagus untuk saya,” kataku.
“Tapi Mas Dicky bisa bantu mama kan, dia sudah berobat kemana-mana tapi penyakitnya kok gak bisa sembuh-sembuh,” kata Angela.
Aku menanyakan mengenai sakit yang dirasakan oleh Bu Shinta, sambil mencermati raut wajah dan sorot matanya. Aku segera menangkap kemungkinan sakit kepala itu timbul karena psikis. Dari sorot mata yang tidak mungkin disembunyikan terkesan ada sesuatu yang ditekan selama ini.
“Maaf ya bu dan mbak Angela, apa sebelum meninggal papanya, stroke,” Tanya saya.
“Betul,” kata bu Shinta.
“Kok masnya bisa tahu sih, suami saya stroke parah 3 tahun,” katanya.
“ Ah saya cuma nebak-nebak saja kok,” kata ku merendah.
“ Emang ada hubungannya dengan sakit papa mas ?” tanya Angela.
“Ah mungkin ada atau mungkin juga gak ada,” saya tidak tahu betul.
“Gimana mas bisa di ringankan sakit kepala mama,” ujar Angela penuh harap.
“Ya saya tidak janji apa-apa, tapi kalau mau dicoba ya silakan, tetapi kalau dimassage perlu di seluruh tubuh, bukan hanya dikepala saja, kalau bersedia silakan. Tapi ini baru usaha ya saya sama sekali tidak janji sembuh lho,” kata saya.
Mereka berdua setuju, aku lalu meminta Bu Shinta mengosongkan kandung kemihnya dan mengganti pakaian dengan kamerjas yang tersedia di lemari hotel.
Ketika mamanya masuk kamar mandi, aku menggamit Angela. “ Mbak maaf ya saya mau cerita dan tanya terus terang sama mbak. Kelihatannya mama sakitnya diakibatkan karena selama ini menekan nafsunya.”
“ Oh begitu ya masak sih, terus gimana , apa mas Dicky bisa mengobatinya, “ tanyanya penuh harap.
“Kalau diizinkan ya akan saya coba, tapi ya kalau mau dicoba.. sih “ kataku.
“ Saya pasrahkan mas Dicky deh terserah, kasihan mama menderita,” kata Angela.
“ Eh maaf ya mas, saya sih sudah banyak dengar dari cerita Mira tentang Mas Dicky, “ makanya saya sangat berharap mas Dicky bisa membantu.
Sedang kami berbicara setengah berbisik, terdengat suara Bu shinta keluar dari kamar mandi.
Aku dan Angela segera menghampiri bu Shinta. “ Bu mas Dicky mau mencoba mengobati ibu dengan therapy pijatan, mama turuti saja apa yang dibilang mas Dicky ya ma, janji lho ma, yang penting mama kan sembuh,” kata Angela.
Angela ingin memberi privacy kepada ibunya, sehingga dia meminjam kartu kunci untuk turun ke bawah, katanya mau jalan-jalan di drug store di bawah.
Aku mempersilakan Bu Shinta tidur telungkup dengan tetap mengenakan kimono hotel. Mulanya dia bersikap agak malu, tetapi setelah kedua telapak kakinya aku tekan titik-titik syarafnya dia mulai agak kelojotan dan melupakan rasa malu. Terasa sekali di titik sexnya kaku dan cenderung membeku. Aku minta izin karena pijatanku agak menyakitkan . Tekanan lembut pun sudah sangat menyakitkan, maka jika dituruti dengan tekanan lembut, maka therapy ini akan memakan waktu panjang.
“Maaf bu, apa ibu tidak tahan sakit, gimana jika saya bantu agar ibu tidak merasakan sakit, apakah ibu bersedia bekerja sama,” tanyaku.
“Boleh mas, saya memang merasa perih sekali, terserah mas ajalah yang penting gak terlalu sakit dan bisa sembuh,” katanya.
“Baik bu saya ingin mengurangi rasa sakit itu dengan membawa ibu ke alam hipnose,” ujarku.
Bu Shinta kuminta duduk lalu aku sugesti hipnotis agar dia terlelap. Karena dia sudah pasrah, mudah sekali masuk ke alam bawah sadarnya.
Bu Shinta kembali kubantu tidur telungkup dan menjaga agar pernafasannya tidak terhalang bantal. Dalam keadaan itu aku tekan sekuat mungkin simpul syarafnya yang kaku, sampai menjadi agak lemas. Beberapa bagian yang pasti sakit sekalian aku therapy sampai agak lemas. Sekitar setengah jam tuntas sudah bagian-bagian yang nyeri aku lemaskan.
Aku bangunkan bu Shinta dari tidur hipnosenya. Dia mengatakan rasanya segar dan enteng. Aku mencoba menekan bagian yang tadi dia rasa sakit, dan sekarang katanya sudah tidak perih lagi. Masih ada sedikit rasa linu, tetapi katanya masih bisa ditahan.
Untuk membuka kungkungan deraan nafsu yang ditahan, aku memainkan tekanan syaraf-syaraf sensual. Hasilnya segera tampak. Badan Bu shinta mulai agak berkeringat dan kadang-kadang terlepas lenguhan dan desahan . Dia tidak peduli ketika bagian paha bagian dalamnya aku urut. Bahkan dia member jalan dengan merenggangkan kedua pahanya.
“Mas kalau ngerepotin dibuka saja kimononya, gak apa-apa kok.” katanya.
Aku membantu meloloskan kimononya. Tinggallah celana dalam dan BHnya. Badannya putih bersih tanpa cacat. Di sana sini memang terasa lemak yang menebal, karena pengaruh usia. Namun secara keseluruhan dia masih sexy.
Ketika BHnya minta dibuka, dia sama sekali tidak keberatan. Bu Shinta sudah mulai naik birahinya. Celana dalamnya aku pelorotkan pun dia menuruti saja, bahkan membantu mengangkat badannya
Jari jahilku sesekali menyentuh celah nikmatnya. Dia makin mendesah. Tanpa aku minta tiba-tiba dia mengubah posisinya menjadi telentang . Bulu di bagian segitiga bawahnya masih cukup lebat dan puting susunya cukup menonjol dengan bongkahan yang proporsional. Aku kembali memijat dari kaki lalu ke paha . Bu Shinta bergerak-gerak gelisah. Tanganku ditariknya agar tubuhku menindihnya. Aku lemaskan badanku dan dia langsung menyerang dengan ganas. Aku ikuti kemauannya dan memberi respon yang diinginkan.
Dugaanku memang tidak keliru, pintu nafsunya sudah terbuka dan saraf kaku akibat menekan birahi bertahun-tahun sudah kembali normal. Aku mencumbunya sehingga dia makin kelojotan. Aku terus menelusuri tubuhnya kebawah dan berakhir di segitiga gairah. Badannya bagai terpental pental ketika titik lemahnya aku jilati. Belum 10 menit di mainkan, Bu Shinta menjerit sekeras-kerasnya dan berdenyutlah seluruh permukaan cembungnya serta bagian dalam liangnya. Setelah agak siuman aku mencolokkan dua jari ke dalam dan mencari titik lemahnya di bagian dalam baru 2 menit dibegitukan dia kembali terengah-engah dan tak lama kemudian menjerit lebih keras dari yang tadi.
Dia menarikku untuk menindihnya. Kuturuti saja, tangannya menggapai bagian bawahku yang masih tertutup celana piyama. Dengan gerakan kasar tangannya berusaha mengeluarkan isinya dan begitu berhasil menemukan yang dicari langsung diarahkan ke lubang nikmatnya. Aku membantu meloloskan celanaku, Perlahan-lahan penisku menyeruak masuk. Terasa agak sempit, mungkin karena sudah lama tidak diterobos. Wajahnya agak mengernyit tetapi kedua tangannya terus menarik bokongku agar penisku terus masuk lebih dalam. Setelah semua ambles, aku melakukan gerakan halus naik turun. Bu Shinta mulai mendengus gak karuan lalu merintih seperti orang nangis. Dia mengimbangi gerakanku sehingga ritmenya jadi kacau. Sementara itu aku mencari posisi lemahnya, sampai akhirnya aku merasa sudah menemukan. Dia makin mengerang dan tidak lama kemudian menjerit nikmat. Aku berhenti sebenar dan membenamkan dalam-dalam penisku. Terasa sekali denyutan lubang vaginanya memijat sekujur batang penisku.
Setelah reda aku kembali menggenjot. Bu Shinta tidak mampu bertahan, dia mencapai lagi orgasmenya. “Mas masih kuat kan, aku mau lagi mas biar sampai aku nggak nahan lagi,” katanya . Aku turuti kamauannya. Setelah sekitar 5 kali klimaks dia mulai nggak kuat. Mas aku udah nggak kuat, mas belum keluar ya, aku udah lemes banget mas. Kok kuat banget ya si masnya,” katanya.
Aku berhenti menderanya meski aku belum menuntaskan diri. Aku bangkit dan Bu Shinta sudah terlelap dan ngorok. Badannya kuselimuti.
Aku membersihkan diri masuk kamar mandi. Cukup lama aku mandi karena berendam air hangat. Sekeluar aku dari kamar mandi remang-remang kulihat ada sesosok tubuh membujur di samping Bu Shinta mengenakan kimono hotel. Kudekati ternyata Angela.
“Mas aku dipijat juga dong, masih kuat nggak,” rengeknya.
“Hebat banget kamu mas mama sampai terngorok-ngorok gitu,” kata Angela.
“Lha mbak ngintip ya tadi,” tanyaku.
“Iya,” katanya polos.
“Ini mau pijat luar atau pijat dalam, “ tanyaku cuek.
“ya luar dalam kalau masih kuat sih,” katanya tanpa tedeng aling-aling.
Tanpa basa basi ku kecup bibirnya . Dia merespon dan langsung mendekapku. Aku langsung mencumbunya tanpa dia harus kupijat dulu. Tidak perlu waktu lama dia sudah bugil dan aku agak malas mengoralnya. Aku memainkan jurus tembak langsung, karena badanku sudah agak lelah juga setelah seharian keliling-keliling .
Angela tidak menolak sama sekali, malah pahanya dilipat dan dikangkangkan lebar-lebar. Tanpa kesulitan yang berarti batang kaku milikku terus membenam ke sumur nikmatnya. Terasa licin tetapi cukup meremas. Perlahan-lahan kumainkan jurus andalanku, menendang-nendang G-spotnya. Angela tidak mampu menyembunyikan rasa nikmatnya. Dia mendengus-dengus di samping ibunya yang sedang terlelap dan tetap mengorok. Tidak bisa dia bertahan lama sehingga jebolah pertahanan nikmatnya. Sambil menutup mulutnya dia menekan suara jeritan nikmatnya. Dia tidak kuberi jeda, langsung aku teruskan genjotan. Dia sempat minta aku berhenti sebentar karena rasanya dia nggak kuat, tetapi tidak aku pedulikan, dia merintih lagi dan tak lama jebol lagi pertahanannya. Akhirnya dia minta ampun dan minta aku benar-benar stop.
“Bener juga kata Mira, mas Dicky luar biasa, mana barangnya enak banget, sorry ya mas aku nggak tahan sampai mas punya keluar, badanku udah lemes banget. Rasanya aku ingin tidur sebentar.
Tubuh Angela yang bugil aku tutupi selimut sehingga anak dan ibu tidur satu selimut dalam keadaan bugil. Aku terpaksa bersih kan diri kembali. Mereka berdua sudah lelap.
Aku duduk di ruang duduk sambil menikmati tayangn film HBO. Lama-lama mataku mulai berat sampai akhirnya tertidur di kursi.
Entah berapa lama aku terlelap, lalu terkesiap bangun karena di depanku sudah berdiri dua sosok wanita sudah berpakaian rapi. Mereka membangunkanku dan mengajak makan di bawah. Tampang mereka terlihat cerita, meski tidak bisa menutupi kesan lelah.
Aku segera menganti baju dan bertiga turun ke Shang Palace restaurant. “Mas kata mama therapinya luar biasa manjur, kepala mama sekarang sudah terasa ringan, badannya juga nggak terasa kaku, “kata Angela.
“Ah semua orang kalau bangun tidur rasanya memang begitu,” kilahku.
“Mas Dicky ini selalu merendah terus, padahal badannya tinggi,” kata Angela menonjok perutku.
Kami makan di meja bertiga di tempat yang agak terlindung.
“Kata mama, belum pernah dia merasakan kenikmatan seperti yang mas berikan tadi seumur hidup, benar kan ma, jadi mama ketagihan nih,” katanya sambil meledek mamanya.
“Ah kamu bisanya nggodain orang aja, kan kamu sendiri yang tadi bilang mau sering-sering ngundang Mas Dicky ke Singapur, emangnya kamu nggak ketagihan tuh,” kata mamanya membalas ejekan Angela.
Selesai makan malam kami akhirnya berpisah. Mereka berdua berjanji besok malam akan menginap di kamarku.
Aku kembali kekamar dengan perut kenyang dan mata sudah mengantuk. Besok tidak ada yang aku kerjakan, kecuali jalan-jalan.
Jam 9 pagi setelah aku selesai mandi dan bersiap-siap turun breakfast, Angela mengabariku sudah menunggu di restaurant. Katanya dia minta ditemani melakukan deal-deal bisnis. “ Ini orang kayaknya sudah berlebihan, masak aku diajak menjadi mitra untuk melakukan deal bisnis, ini daerah kan nggak aku kenal, mana bahas a Inggrisku belepotan ah bodo deh, Angela lebih tahu, kalau malu kan dia yang malu. Sementara aku harus malu sama siapa, satu orang pun tidak ada yang ku kenal di sini.” Batinku.
Ternyata Angela mengajakku berkeliling ke beberapa kantornya di negeri singa ini. Setelah makan siang eh dia malah nagih diterkam lagi. “Sebetulnya mama ingin ikut, tapi aku bilang mama nanti malam saja, aku sibuk dengan kerjaan. Kayaknya dia ketagihan tuh mas,” ujar Angela.
Aku menuruti permintaannya, karena dia kan sponsorku di Singapur ini. Dia aku genjot sampai meleleh, maksudnya sampai tidak berdaya dan nggak kuat berdiri lagi. Sementara Angela tidur seperti orang mati sore itu ibunya mengontakku melalui telepon hotel untuk menjemputnya di Lobby.
Mamanya hanya geleng-geleng saja melihat anaknya terkapar bugil di bawah selimut. Si mama tanpa malu-malu langsung minta jatah. Dia sampai termehek-mehek karena entah berapa kali kupaksa mencapai klimaksnya.
Aku sempat meninggalkan kenangan dengan melepas pejuh sekali di memek Bu Shinta dan sekali di memek Angela. Dalam perjalanan pulang aku berkhayal, kalau keduanya harus aku kawini, gimana ceritanya, masak sih anak dan ibu sekaligus menjadi istri-istriku.
Berkat kepuasan Angela dan ibunya, aku akhirnya dipercaya memegang salah satu line bisnisnya di Jakarta. Padahal aku tidak pernah memahami management. Aku memaksa diri belajar dibantu bimbingan Angela, akhirnya lama-lama menguasai juga.
Akhirnya aku pun tahu rahasia keluarga Angela. Bu Shinta ternyata bukan ibu kandungnya dan Angela kemudian pisah dengan suaminya, yang selama ini ternyata hanya menjadi benalu. Mereka tidak sempat memiliki anak.
Mira dan Winda tetap aku jaga agar mereka tetap seperti dulu. Atas bujukan Mira lah akhirnya Angela dan Bu Shinta mengikat tali pernikahan denganku. Pernikahanku dengan keduanya tidak sekedar di bawah tangan, tetapi resmi. Dengan Mira pun akhirnya kami menikah secara sah menurut hukum.

Artikel Terkait

0 comments:

Post a Comment

MustBhagoezt on
Add Me
Follow Me
Add Me
Langganan Gratis

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCPenney Coupons